STORY
OF MY LIFE
Namaku Tiara Ashilla Permata, aku adalah anak
ketiga dari tiga bersaudara, tepatnya aku anak yang paling bungsu. Kini aku
telah duduk di bangku kelas dua di SMA . Kakak pertamaku namanya Reza Diandra
Herlambang, nama terakhir adalah nama dari Papa, dia sudah kuliah dan sekarang
sudah semester ke dua. Dan saudara perempuanku Intan Ashilla Permata yang kini telah duduk di bangku kelas tiga SMA
di sekolah yang lebih berkelas daripada sekolahku yang merupakan sekolah yang
memungut anak buangan dari sekolah lain. Jika dipertanyakan, kenapa Mama sama Papa
menyekolahkan kami di dua sekolah yang berbeda, jawabannya itu karena kak Intan
lebih pintar daripada aku. Bahkan jika dibandingkan dengan kak Reza dan kak
Intan mereka memiliki IQ yang lebih dariku, mereka merupakan anak-anak yang
cerdas, sedangkan aku hanyalah anak yang paling bodoh, sewaktu aku semasih SD
aku pernah tidak naik di kelas tiga SD, dan itu sungguh memalukan.
Sebenarnya, dibalik semua latar belakangku itu
yang penuh dengan kekurangan, aku juga merasa bingung dengan diriku sendiri,
kenapa hanya aku anak Mama sama Papa yang paling aneh, aku yang paling kurang
dari mereka berdua. Makanya aku tidak pernah heran jika mama sama Papa gak sayang
lagi sama aku, hanya saja aku sedikit sedih setiap harinya. Kata siapa kalau anak yang
paling bungsu itu adalah anak yang
paling disayang, anak yang paling dimanja ? Tapi malah sebaliknya, buktinya
saja aku yang jarang mendapat kasih sayang dari Mama sama Papa, seolah-olah aku
tidak dianggap sama sekali oleh mereka. Setiap malam aku hanya berbekal duka
dalam kesunyian, tidak seperti kak Intan yang setiap malamnya Mama selalu
dicium keningnya, aku sangat iri sama kak Intan. Olehnya,aku juga jarang makan
sehingga beginilah jadinya, aku jadi kurus dan sakit maag yang sering muncul.
Malam yang sejuk mengiringi kesepianku, angin
malam turut membelai rambutku,menemaniku yang tengah sendiri menatap indahnya
langit yang bertaburkan bintang-bintang. Mereka bagaikan teman yang paling
setia dikesendirianku dalam ketidakadilan. “Oh
Tuhan, kapankah semuanya ini akan berubah ? Akankah ku dapatkan kasih sayang
dari Mama sama Papa yang akan menyayangiku dengan tulus ?” Tanyaku dalam
pengharapan.
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dengancukup
pelan.
“Pasti Bi Imah..” Tebakku.
“Iya Bi.. sebentar!” Sahutku sembari berjalan
dari serambi kamar.
“Maaf Non.. waktunya makan malam, yang lain
sudah pada ngumpul di bawah.” Ucap Bi Imah saat pintu kamarku terbuka.
“Okey Bi, Tiara juga udah lapar banget nih..
cacing-cacing di perut Tiara udah pada protes.. (candaku) Oh iya Bi, yang
nyuruh Tiara turun pasti Mama sama Papa kan ? Mereka pasti khawatir sama
keadaan Tiara. Hm.. akhirnya mereka mencemaskan Tiara juga.’
Bi Imah adalah orang yang merawatku dari kecil,
bagiku Bi Imah sudah seperti Ibu kandungku sendiri. Di rumah, hanyalah Bi Imah
yang paling peduli dengan keadaanku. Disaat aku sakit, hanya dia yang selalu
repot menyiapkan obat untukku,hanya dia yang selalu tahu betapa sedihnya aku
disaat nilai raportku jauh dari nilai kak Intan, hanya dia yang tahu betapa aku
ingin seperti kak Intan yang selalu bisa membuat Mama sama Papa bangga dengan
prestasi-prestasi yang ia raih.
Ketika aku sampai di meja makan, dengan perasaan
yang bahagia aku tersenyun karena aku akan berkumpul dengan orang-orang yang
sangat aku sayangi.
“Wah.. ada ayam bakar sama kentang goring buatan
Bi Imah nih. Hm.. maknyusss..” Ucapku seraya menduduki kursi favoritku.
“Dasar tidak sopan..” Sindir Papa padaku.
“Makanya, jangan nyerocos aja dong jadi cewek,
emang gitu ya anak yang ga tahu etika.” Timpal kak Reza.
“Iya Ra, kamu mending duduk dulu deh baru
ngomong kan Mama sama Papa ada disini, jadi lebih sopan dikit bisa gak sih ?”
Tambah Kak Intan.
“Iya, betul tuh kata Intan, contoh dia!” Sambung
Mama.
“Okey, Tiara pergi Ma.. Pa.. maaf jika Tiara
ganggu suasana makan kalian. Silahkan makan!” Ucapku dengan sinis.
Aku pun bergegas naik menuju kamarku, tanpa
sedikitpun menyentuh makanan disana, padahal sebenarnya penyakit maag yang ku
derita kambuh lagi dan rasanya sangat perih. Tapi lebih perih lagi disaat aku tak
pernah mendapatkan kasih saying dari orang-orang yang aku sayangi.
Pagi pun telah tiba, dari ufuk timur matahari
bersinar dengan terangnya, hingga aku terbangun karena silau sinarnya yang
menerpa mataku dari celah-celah jendela kamarku yang sedikit terbuka. Aku
bergegas mandi dan memakai pakaian sekolahku lengkap dengan tas yang berisi
buku-buku peajaran yang telah aku pelajari tadi malam disaat aku tengah
menyendiri. Pagi ini aku tak ingin sarapan, aku hanya mengunjungi Bi Imah yang
ternyata sedang menyiapkan bekal untukku.
“Makasih ya Bi.. Bi Imah udah repot-repot buatin
Tiara bekal. Sedangkan orang tua kandung Tiara sendiri tidak pernah sekalipun
mereka mau memperhatikan Tiara.” Kataku dengan nada bersedih.
“Sudahlah Non Tiara tidak usah bersedih, mungkin
Tuan sama Nyonya lagi sibuk, jadi ga sempat ada waktu buat Non..” Timpal Bi
Imah.
“Tapi kenapa ko’ cuma buat Tiara aja mereka
engga ada waktu Bi ? Tapi buat kak Reza sama kak Intan mereka selalu ada waktu,
bahkan itu setiap hari Bi..” Aku pun menangis.
“Eh Non.. jangan nangis, ayo semangat
sekolahnya.. buktikanlah yang terbaik untuk Tuan sama Nyonya, dan yakinlah
kalau Non Tiara bisa juga berprestasi seperti Non Intan.” Kata Bi Imah
memberiku semangat.
Setibanya di sekolah, aku segera menuju ruangan
tempatku ulangan, jadwal ulangan hari ini adalah Matematika dan Bahasa Inggris.
Pelajaram Matematika, pelajaran menghitung yang paling meyebalkan bagiku,
karena aku tak seperti kak Intan yang jago menghitung, buktinya aja dia pernah
dapat juara tiga lomba Matematika mewakili sekolah di tingkat kabupaten.
Dugaanku tepat, soal kali ini susahnya minta ampun, hingga kertas ulanganku
hampir tak terisi sama sekali. Tapi, kalau Bahasa Inggris, inilah pelajaran
favoritku, bukannya menyombongkan diri, semua soal dapat aku kerjakan dengan
mudah, dan aku yakin paling sedikit dari seratus soal bisa salah cuma dua soal
saja jika jawabannku agak meleset. Aku bisa Bahasa Inggris karena sejak aku
kecil aku selalu diajarkan berbicara dengan Bahasa Inggris oleh Om Robert teman
dekat Papa dari Jerman. Om Robert sangat menyayangiku jauh lebih besar dari
orang tua kandungku semasih ia tinggal di Jakarta. Namun, kini Om Robert telah
pindah ke Amerika Serikat dengan putra tunggalnya Brian, disaat Tante Ririn
meninggal dunia karena kanker darah yang dideritanya sepuluh tahun yang lalu.
Hari ini aku memutuskan untuk tidak pulang
setelah ulangan umum, hari ini aku akan menghabiskan waktu di Padepokan sampai
jam tujuh malam. Rasanya lebih damai bila aku berada di luar rumah,
dibandingkan jika aku di rumah pastinya aku akan nyesek setiap hari melihat
keharmonisan keluargaku tanpa ada aku ditengah-tengah canda tawa mereka.
“Selamat siang Paman..” Kataku pada Paman Bintang. Paman Bintang adalah kakak
tiri dari Mama, Paman adalah orang yang juga cukup tahu tentang aku, dan aku
juga pernah ceritakan padanya tentang ketidakadilah dalam keluargaku,
disakasikan oleh anaknya Si Bintang yang sekarang juga sekelas denganku.
“Selamat siang juga nak Tiara..Kamu ga pulang
nak ?” Balas Paman.
“Engga ah Paman, Tiara nyesek kalau pulang..
Tiara lebih nyaman kalau di Padepokan.”
“Ga boleh gitu nak, nanti bagaimana kalau orang
tua kamu nyariin kamu kemana-mana ? Kamu tidak boleh membuat mereka cemas
nak..” Kata Paman.
“Mana pernah Papa sama Mama mencemaskan Tiara,
Paman ? Mereka kan ga sayang lagi sama Tiara, mungkin bagi mereka Tiara bukan
anak kandung mereka.” Ucapku sembari meneteskan air mata.
“Ra, jangan gitu.. Mereka sayang ko’ sama kamu..
hush..” Sambung Bintang.
“Sudahlah, kamu abaikan saja mereka.. Nah,
sekarang kamu mending senyum dulu, lima menit lagi anak-anak dari SMA Generasi
Bangsa mau ke Padepokan kita nak..”
“Ngapain mereka mau ke sini sih Paman ? Bukankah
SMA Generasi Bangsa itu sekolahnya kak Intan ya Paman ?” Tanyaku.
“Iya nak.. kamu benar, nanti ada empat orang
yang akan ke sini. Mereka itu murid Paman juga, Paman kan ngajar les di sana
setiap hari kamis sore. Dan kali ini merupakan suatu penghormatan bagi
Padepokan kita, karena mulai hari ini juga mereka yang akan ke sini untuk
latihan..” Jawab Paman jelas.
“Setiap hari kamis sore ? Tapi kan sekarang hari
jum’at Paman..” Kataku.
“Kapan pun mereka mau nak.. pintu akan selalu
terbuka untuk mereka yang datang ke sini dengan serius untuk belajar silat.”
“Apakah tidak lebih baik saja dibuatkan jadwal
?”
“Ide bagus..”
“Jadi kapan ?”
“Hari seperti biasanya.. hari jum’at dan sabtu.”
Tak lama kemudian suara sepeda motor berbunyi
dan berhenti tepat di depan gerbang Padepokan, dan ternyata anak-anak dari SMA
Generasi Bangsa telah tiba. Dengan hangat, Paman menyambut mereka.
“Selamat datang di Padepokan kami anak-anak..”
Sapa Paman.
“Selamat siang Pak Guru..” Sapa mereka dengan
penuh hormat.
“Wah.. ternyata Padepokan bapak memiliki halaman
yang sangat luas.” Sanjung Ian salah satu dari empat orang anak itu.
“Ah.. tidak seperti itu nak, masih banyak
Padepokan silat lain yang halamannya lebih luas daripada yang kamu lihat saat
ini nak.. Oh iya, kenalkan ini keponakan Paman, namanya Tiara.” Ucap Paman.
“Ih.. Paman kenapa sih pake ngenalin Tiara
segala sih Paman ?” Desisku.
“Hallo.. nama aku Ian Febrian, panggil aja Ian.
Nama kamu siapa ?” Tanya Ian kepadaku, seketika keringat dingin membasahi
tubuhku.
“Nama.. nama.. nama aku Tiara, Tiara Ashilla
Permata.. kamu bisa panggil aku Tiara.” Kataku sembari mengulurkan tanganku.
“Tiara Ashilla Permata ? Aku juga punya teman,
namanya Intan Ashilla Permata, dia sekelas denganku..” Kata Ian terlihat agak
kaget, dan dia masih memegang tanganku.
“Hehe.. dia itu kakak saya kak..” Jawabku.
“Kakak kamu ? Tapi wajah kalian tidak mirip sama
sekali.”
“Ah sudahlah.. lupakan saja kak,” Ujarku.
Hari demi hari ku lewati, kini hari-hariku
diwarnaai oleh senyuman. Aku sangat bahagia sekarang, sebelum kehadiran kak Ian
dalam hidupku tak pernah hatiku segembira ini, aku sangat beruntung mempunyai
kak Ian yang selalu ada di sampingku disaat aku kesepian. Aku berharap
selamanya akan terus seperti ini, dia bagaikan malaikat dalah hatiku. Tapi
telah dua bulan berlalu, aku mulai jatuh cinta padanya, aku sungguh berharap
kak Ian segera menyatakan cintanya kepadaku. Tepat, besok adalah hari ulang
tahun kak Ian, dan kak Ian memintaku untuk hadir di acara ulang tahunnya itu.
Entah aku yang memiliki perasaan yang berlebihan, hati kecilku mengatakan bahwa
besok malam tepat pukul delapan malam, kak Ian akan segere menyatakan cintanya
kepadaku.
“Kak.. kakak ko’ tumben sih ngajakin Tiara
ketemuan ? Emang ada apa ya kak ?” Tanyaku.
“Ra.. besok malam kamu bisa ga hadir ke acara
pesta ulang tahun kakak ?” Tanya kak Ian.
“Oh iya, Tiara hampir lupa kalau besok itu kan
hari ulang tahun kakak.. (penuh kegembiraan) Tapi kak.. mungkin Tiara ga bisa
datang kak..” Kataku.
“Kenapa engga bisa ? Harus bisa donk, kamu tahu
ga kalau ga ada kamu.. pesta ulang tahun kakak ga akan berarti apa-apa..
Please!!! Hadir ya..” Kak Ian membujukku.
“Huh.. pasti lah Tiara hadir ke pesta ulang
tahun kakak, Tiara cuma pengen tahu aja.. seberapa berartinya sih Tiara bagi
kakak..” Pikirku sembari tersenyum.
Hari ini pun aku pulang lebih awal, aku langsung
menemui Bi Imah yang sedang sibuk mengepel di dapur.
“Bi.. Bi Imah..” Teriakku.
“Ada apa toh Non Tiara panggil-panggil Bibi ?”
“Bi.. Nanti malam Tiara mau ke pesta ulang
tahunnya kak Ian, Bi.. Bi Imah bisa ga bantu Tiara nyari gaun yang pas buat
Tiara.. Tiara mau tampil cantik nanti malam, karena malam nanti akan menjadi
malam yang paling bersejarah buat Tiara, Bi.”
“Walahhh, Non.. Non mah pake gaun apa aja pasti
cantik..” Puji Bi Imah.
“Benarkah ? Oh iya Bi.. Mama sama kak Intan ke
mana Bi ? Ko’ mereka ga kelihatan dari tadi ?”
“Nyonya sana Non Intan lagi ke Toko Baju..
Katanya sih teman Non Intan hari ini juga ulang tahun, jadi mereka mau beli
gaun baru buat dibawa ke pesta temannya Non Intan.”
“Huh.. beruntung banget sih kak Intan, dapat
perhatian sampai segitunya dari Mama.. apa-apa pasti baru. Sedangkan Tiara apa
Bi ?”
“Sabar Non.. Ssstt..” Desis Bi Imah.
Aku pun menyiapkan gaun beserta aksesoris yang
aku perlukan, begitu juga dengan kak Intan yang baru saja datang dari belanja.
Ku lihat kak Intan membeli gaun baru berwarna putih, sedangkan aku hanya
memakai gaun lama pemberian dari Mama lima tahun yang lalu dan aku tak tahu
entah gaun itu masih bagus atau tidak karena baru ku pakai sekali saja di hari
ulang tahunku. Menjelang sore, kak Intan sudah mandi dan akan memakai make up.
Kak Intan terlihat sangat cantik, karena Mama yang mendandani. Aku juga ingin
seperti kak Intan, tapi aku tidak mungkin bisa seperti dia. Ku lihat pula
ketika hendak berangkat, kak Intan juga Mama yang mengantar. Tapi aku ga bersedih
hati ko’, lagi pula aku sudah sering melihat yang begituan. Aku masih berntung
karena ada Bi Imah yang mau mendandani aku dan sepeda yang siap untuk
mengantarku ke rumah kak Ian.
Tak lama kemudian, aku pun sampai di rumah kak
Ian. Cahaya lampu berkelap-kelip dari kejauhan, terlihat banyak sekali tamu
undangan yang datang. Sebenarnya aku merasa malu berada di tengah-tengah
mereka, ingin rasanya aku kabur saja, tapi aku terlambat karena kak Ian sudah
memanggilku.
“Wah.. kak Ian ganteng banget malam ini..”
Sanjungku.
“Ah, biasa aja Ra.. emang cuma malam ini aja ya
kakak terlihat ganteng ? Emang kemarin-kemarin kaya monyet ya ?” Canda kak Ian.
“Engga gitu maksud Tiara, kak.. Cuma aja
sekarang agak berbeda..” Kataku.
Apun seketika langsung ternganga ketika aku
lihat ternyata kak Intan ada di sini juga, tepat berdiri di samping kak Ian.
Aku berpikir, sebelum kak Intan melihatku ada di sini, mungkin aku harus pergi.
Kak Intan pasti tidak akan suka jika melihatku ada di sini.
“Tiara, kamu ngapain ada di sini ?” Tanya kak
Intan kepadaku.
“Em.. m.. Tiara, Tiara..” Aku tak bisa menjawab
pertanyaan kak Intan.
“Ada apa ?” Tanya kak Ian yang tiba-tiba sudah
berada di belakang kami.
“Engga ada.. hehe..” Kata kak Intan.
“Eh, iya kalian kan saudara.. kenapa kalian tadi
ga berangkat barengan ? Kenapa tadi kamu ga semobil sama kakak kamu Ra ? Kenapa
tadi kamu naik sepeda ?” Tanya kak Ian.
“Aduhhh.. mati nih, kak Intan pasti marah, aku
harus apa sekarang ? Harus ku jawab apa pertanyaan kak Ian ?” Pikirku panjang.
“Ini anak di mana-mana kerjaannya bikin hidupku
semakin ruwet saja, nyusahin mulu. Sekarang di mata Ian aku jadi terlihat
sangat buruk, awas saja jika sampai Ian membenciku, aku akan membuatmu
menyesal.” Pikir kak Intan.
“Ah.. engga kak, Tiara lagi pengen naik sepeda
aja tadi. Kan Tiara udah biasa naik sepeda, berangkat sekolah aja Tiara pake
sepeda. Lagian.. kalau Tiara naik mobil juga suka mabuk kak, Tiara gak bisa
cium bau parfum mobil.” Kataku menyangkal, aku tak mau kak intan marah denganku
hanya gara-gara masalah sepele seperti ini.
“Kamu ngapain sih nanya-nanya kaya gitu ?
(kesal) Hari ini adalah hari ulang tahun kamu, ya udah langsung aja kita mulai
acaranya, tuh lihat tamu-tamu undangannya udah pada datang tuh.. kasihan mereka
kalau sampai nunggu lebih lama lagi.” Sambung kak Intan.
Acara pun dimulai juga, semua tamu undangan yang
datang menyanyikan lagu “Happy Birthday” untuk kak Ian. Disaksikan oleh kedua
orang tuanya dan para tamu undangan yang datang, kak Ian memejamkan matanya, ia
mencakupkan kedua tangannya sebelum meniup lilin dan memotong irisan kue
pertama, kedua, dan ketiga.
“Apa yang kamu harapkan di usiamu yang sudah
menginjak 18 tahun ini, Nak ?” Tanya Om Anwar, Ayah dari kak Ian.
“Harapan Ian itu sederhana Pa.. dan itu rahasia
besar Pa.” Jawab Ian.
“Ya udah deh, kalau itu rahasia buat kamu, Nak.
Sekarang coba kamu iris kue ulang tahunnya, tiga irisan pertama itu buat siapa
saja ? Mama pengen tahu, siapa-siapa saja sih orang-orang yang kamu sayangi dan
paling berarti dalam hidupmu.” Kata Tante Della, Ibunya kak Ian.
“Baiklah.. (sembari mengiris kue) Kue irisan
pertama akan aku berikan sama orang yang paling aku sayangi, karena dia selalu
ada untukku disaat aku lagi butuh dia. Dia seorang perempuan yang sangat hebat.
(menoleh ke arah Tante Della) Ma.. ini buat Mama..” Kata kak Ian sembari mecium
Ibunya.
“Mama sayang sama kamu, Nak..” Ujar Tante Della.
“Dan, kue irisan kedua.. ini untuk seorang pria
yang bisa dikatakan hampir paruhbaya, jika itu dua puluh lima tahun lagi. Dia
suka bertengkar denganku gara-gara remote TV, dia sangat mengesalkan, tapi aku
sangat beruntung karena jika ada dia.. rumahku tidak sepi lagi.” Kata kak Ian
sembari memberikan kue irisan kedua kepada Ayahnya.
Dan kali ini, jantungku yang berdebar begitu
cepat. Aku sangat berharap kak Ian akan segera menyatakan cintanya kepadaku,
aku terlalu yakin bahwa kue irisan ketiga itu pasti akan diberikannya kepadaku.
“Hm.. kue irisan ketiga ini kira-kira untuk
siapa ya ?” Canda kak Ian.
“Ini adalah kue terakhir, ini akan ku berikan
kepada seorang gadis yang telah berhasil membuatku jatuh hati padanya,
membuatku selalu terbayang wajahnya setiap malam. Dan aku rasa aku telah jatuh
cinta padanya. Malam ini juga akan ku ungkapkan perasaan yang telah lama ku
pendam padanya, akan ku nyatakan cinta ini untuknya.” Ucap kak Ian.
“Kak.. cepatlah nyatakan cinta itu kak. Akan aku
jawab iya, aku mau kak.” Kataku dalam hati.
“(kak Ian menoleh kea rah kak Intan) Tan.. (bertekuk
lutut di hadapan Intan sembari memegang setangkai mawar merah) Kamu mau ga jadi
pacar aku ?’ Tanya kak Ian kepada kak Intan.
“Ian.. aku ga percaya kalau kamu akan nyatakan
cinta juga sama aku Ian. Aku juga sudah lama punya perasaan itu sama kamu Ian.”
Kata kak Intan.
“Aku janji akan selalu mencintai kamu, untuk
selamanya.. selama kamu ga berhianat sama aku Tan..”
“Aku mau jadi pacar kamu Ian.. karena aku cinta
sama kamu. I Love You..” Kata kak Intan sembari memeluk kak Ian.
“I Love You Too..” Balas kak Ian.
Aku lihat sangat jelas dengan mata kepalaku
sendiri, kak Ian memberikan sebuah cincin kepada kak Intan, ia memakaikan
cincin itu ke jari manis kak Intan dan mencium kening kak Intan. Aku hanya bisa
berpura-pura tersenyum di depan mereka berdua, kedua orang tua kak Ian, dan
para tamu-tamu undangan yang datang. Namun, rasa sakit hati ini tak bisa ku
tahan lebih lama lagi, ini terlalu perih, hati yang telah luka ini bagaikan
tertusuk duri-duri yang teramat tajam, teriris silet. Luka ini terasa tersiram
lagi oleh air garam. Tak ku sadari, air mataku menetes juga, tak sanggup ku
tahan lagi rasa sakit ini.
Aku pun berlari, segera ku tinggalkan mereka
yang tengah berbahagia. Ku menagis dalam sepi, ku tak menyangka apa yang aku
harapkan hanyalah angan-angan belaka.
“Eh, kamu darimana saja ? Kenapa jam segini baru
datang ? Udah tadi juga pergi ga bilang-bilang, apa kamu sudah ga menganggap
Mama sama Papa lagi, Ra ?” Tanya Mama yang kebetulan saat itu sedang berada di
ruang tamu dengan Papa.
“Darimana saja ? Sejak kapan Mama sama Papa
peduli sama Tiara, sejak kapan Mama sama Papa mencemaskan Tiara ? Bukannya
kalian yang tidak pernah menganggap Tiara sebagai anak Mama sama Papa ?” Ucapku
sembari menangis.
“Tiara, jaga mulut kamu.. Apa itu ajaran yang
kamu dapatkan di sekolah ? Rugi Papa menyekolahkan kamu tinggi-tinggi, jika itu
membuat kamu semakin berani melawan kedua orang tua kamu yang tua renta ini.”
Bentak Papa.
“Hh.. apa belajar itu hanya di sekolah saja Pa ?
Apa Papa sama Mama ga sadar, pernah ga Tiara belajar dari orang tua Tiara
sendiri ?”
“Bicara apa kamu ?”
“Pertanyaan Tiara adalah, apa Tiara ini anak
kandung Papa sama Mama ? Kenapa Tiara selalu kalian abaikan ? Jika Tiara anak
kandung kalian, mengapa kalian ga pernah memberikan kasih sayang seperti kalian
menyayangi kak Virgo sama kak Intan ?
Sebenarnya, kalian berdua menganggap Tiara sebagai apa di rumah ini Pa.. Ma..
Tiara bosan sama semuanya ini Pa.. Ma..” Aku menangis dan berlari menuju
kamarku.
Ku kunci pintu kamarku, ku berbaring, tak dapat
ku tahan lagi rasa sedih hati ini. Aku tidak punya siapa-siapa lagi, kak Ian
yang dahulu pernah menghiasi hari-hariki dengan senyuman, kini ia telah menjadi
milik kak Intan. “Tuhan.. tolonglah aku, aku tak sanggup lagi dengan ujian yang
kau berikan kepadaku. Aku tak ingin hidup lagi di dunia yang penuh derita ini,
Tuhan.. rasanya aku ingin mati saja. Tolonglah Tuhan, berikan petunjukkmu..”
Pagi pun menjelang, ku berlari menuju kamar
mandi. “Aku harus tetap tabah dengan segala ujian ini.. aku tidak boleh lemah.
Tetaplah tersenyum, walaupun hatiku ini masih terasa sangat sakit.” Dengan
semangat ku bersekolah, tak ku hiraukan lagi mereka yang telah tidak
menganggapku lagi.
“Nak..” Kata Papa yang sedang berkumpul debgan
keluarga besar mereka di meja makan.
“Papa manggil siapa ? Aku ?” Tanyaku dengan
santai.
“Maafkan Papa yang semalam sudah membuat hatimu terluka
Nak..” Papa berdiri dan berjalan mendekatiku.
“Papa..” Mataku berkaca-kaca.
Papa mendekapku dengan penuh kasih sayang, aku
sungguh bahagia, karena ini pertama kalinya aku merasakan dekapan dari seorang
Ayah yang telah lama mengabaikanku.
Waktu pun seakan berjalan dengan sungguh cepat,
kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Aku sangat resah kali ini dengan
hasil belajarku selama enam bulan, tak seperti sebelumnya aku yyang tampak
biasa- biasa saja dengan nilai yang aku peroleh.
“Pa.. Tiara boleh minta ambilin raport Tiara ga
ke sekolah, Pa ?” Pintaku.
“Papa sudah janji sama Intan, kalau Papa akan
mengambilkan raportnya. Kalian kan beda sekolah.” Jawab Papa.
“Ma.. ambilin raport Tiara ya..” Pintaku lagi
pada Mama.
“Mama sudah janji sama Reza kalau Mama akan ke
kampusnya hari ini juga, dia kan sebentar lagi mau ke Singapura.” Jawab Mama.
“Oh.. gitu ya.” Balasku dengan nada kecewa.
“Apa hubungannya coba mau ke kampus sama ke
Singapura, bilang aja terang-terangan kalau Mama ga mau ngambilin raportnya Tiara.”
Pikirku.
Aku hanya bisa menangis sendirian di dalam
kamar, tidak ada satu orang pun yang mau mengambilkan raportku. Jalan terakhir
adalah Bi Imah, dan tentu saja ia tidak akan menolak permintaanku.
“Gimana, Bi hasilnya ?”
“Non Tiara dapat juara satu..” Jawab Bi Imah
dengan sangat gembira.
“Hah ? Bibi serius..”
Aku pun begitu sangat bangga dengan diriku
sendiri, karena akhirnya aku dapat menyamai prestasi kak intan juga. Tak sabar
rasanya aku ingin cepat-cepat tiba di rumah, akan ku beritahukan kabar gembira
ini pada keluargaku, aku tak sabar ingin mendengar kesan mereka kepadaku. Tiba-
tiba saja dari kejauhan terlihat kak Ian yang sedang berjalan menghampiriku,
dan ia tepat berdiri di depanku.
“Tiara..” Kata kak Ian singkat.
“Iya..” Jawabku singkat pula.
“Kenapa sewaktu kakak Ulag Tahun, kamu malah
pulang begitu saja ? Tiba-tiba saja menghilang dalam pesta malam itu.”
“Maaf kak, waktu itu Tiara sudah mengantuk.”
“Kamu akhir-akhir ini berbeda dengan Tiara yang
dulu, ada apa Tiara ? Kenapa sekarang kamu mulai menghindar dariku ? Di
Padepokan kamu juga tidak pernah muncul lagi. Kenapa ?” Tanya kak Ian.
“Maaf! Bukan urusan kakak.” Jawabku ketus.
“Tiara!!!” Bentak kak Ian.
“Tolong mulai sekarang kakak jauhi Tiara, Tiara
ga mau ketemu lagi sama kakak, Tiara benci sama kakak. Anggap saja kita belum
pernah bertemu sebelumnya! Terimakasih karena dulu kakak pernah mewarnai hidup
Tiara yang kelam.” Kataku sembari berlari menjauh dari kak Ian.
“Aku sungguh ga ngerti sama kamu Ra.. Okey,
kalau sikap kamu akan terus seperti ini, maka mungkin memang akan lebih baik
jika kita lupakan saja semuanya! Yang jelas aku juga mulai membencimu..” Kak
Ian berteriak kepadaku, dan aku sungguh tak mengira bahwa kak Ian akan sangat
membenciku.
Setibanya di rumah, semua orang berkumpul dan
tertawa ria melihat hasil belajar kak Intan dan kak Reza, namun ketika
melihatku sedang berdiri tepat di depan pintu masuk suasana menjadi henng
sejenak, mereka terdiam seakan-akan itu menandakan bahwa mereka tidak suka
dengan keddatanganku.
“Gimana hasilnya Ra ? Pasti jelek ya ?” Tebak
kak Reza.
“Engga ko’.. Tiara dapat juara satu sekarang.
Yang pastinya Tiara udah menyamai prestasi kak Intan.” Kataku.
“Ah, juara satu di sekolahmu pasti juara
terakhir di kelas Intan.” Ledek Mama padaku.
Aku
kecewa, benar-benar kecewa karena semua prestasi yang kuraih tak penah dihargai
sama sekali. Dengan kecewa aku berlari menuju kamarku, kuratapi semua
ketidakadilan ini. Aku tidak keluar kamar selama dua hari pun tak ada yang
peduli. Semua orang dirumah hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing,
kecuali Bi Imah yang hampir setiap jam
membujukku untuk keluar. Maagku kambuh, rasanya teramat perih dari yang
biasanya. Dihari ketiga aksi diamku dikamar, tiba-tiba rumahku terdengar sebuah
suara yang sangat ku kenal. Ternyata hari ini, keluarga Om Robbert sudah tiba
di Jakarta untuk berlibur bersama keluarga kami. “Kak Aga.. Tiara kangen sama
kakak..” Ucapku dengan tertunduk lesu dikamar.
Aku
keluar kamar untuk menemuinya, namun ternyata ia sudah berubah dan tak peduli lagi
padaku. Semuanya benar-benar berubah, dan kini janjinya ia ingkari untuk
menemuiku. Penantianku sia-sia, semua orang telah membenciku dan menjauhiku.
Aku sendirian dirumah, Bi Imah pulang ke kampung karena anaknya sakit.
Sedangkan yang lain sedang makan malam dihotel. Dan aku, tertinggal di rumah
sendirian.. Keesokan harinya, Om Robbert
berkunjung ke rumahku bersama kak Aga pujaan hatiku, dan di sana seperti
biasanya aku menjadi obat nyamuk. Aku hanya makan dan terus memasukkan roti
berselai kacang ke mulutku. Sedangkan yang lain asyik berbincang-bincang dengan
topic kak Intan dan kak Aga. Yang aku tahu, mereka terus membanggakan dua orang
yang berprestasi tersebut. Hingga Om Robbert juga turut berubah padaku, semua
orang mengucilkanku disini. Sesudah sarapan pagiku habis, aku segera pamit
menuju taman belakang yang ternyata disana ada kak Intan kak Aga sedang duduk
berdua. Disana, aku sedang melihatnya memberikan setangkai mawar pada kak Intan.
Ternyata mereka sudah jadian dan aku tahu, bahwa kak Aga telah melupakanku.
Begitu pula dengan kak Intan yang juga telah melupakan kak Ian, kekasihnya.
Dalam hati kecilku bertanya, apakah mereka telah putus ?
Akhirnya, hari yang telah lama ku nantikan tiba juga. Hari ini, pertandingan silat antar Provinsi di Indonesia akan berlangsung di Bandung. Namun sayang, semua orang yang kusayang tak ada yang mau hadir disini. Semuanya memilih hadir dilomba kak Intan Olimpiade Matematika. Walau sedikit kecewa, akan kubuktikan bahwa aku adalah Tiara yang hebat. Dalam hati, perasaan takut pun datang ketika ku lihat lawanku yang berbadan tinggi dan terkenal ganas berdiri tepat di depanku, aku sempat terjatuh dan nafasku terasa sesak ketika kakinya menentang tepat di dadaku. Namun, siapa sangka bila keinginanku untuk menjadi Sang Juara terwujud, aku menang dan meraih juara satu dipertandingan silat nasional di Bandung. “Kita panggil, juara nasional silat tahun ini. Tiara Ashilla Permata dari Jakarta.” Panggil pembawa acara. Dengan diiringi tepuk tangan meriah, ku naiki podium kebesaranku, dan kurasakan aku sangat dihargai disini.
Setibanya dirumah, kuletakkan foto keberhasilanku diruang tamu, namun disaat kedatangan kak Dara dan yang lainnya, kulihat kemurungan disana. Dan setelah melihat foto keberhasilanku, kak Intan malah menangis, sembari ia copot foto yang telah ku pajang lalu ia jatuhkan ke lantai hingga kacanya pecah berserakan, ia pun berlari menuju kamarnya.
“Kamu sengaja meledek Intan ?” Tanya Papa dengan sinis.
Akhirnya, hari yang telah lama ku nantikan tiba juga. Hari ini, pertandingan silat antar Provinsi di Indonesia akan berlangsung di Bandung. Namun sayang, semua orang yang kusayang tak ada yang mau hadir disini. Semuanya memilih hadir dilomba kak Intan Olimpiade Matematika. Walau sedikit kecewa, akan kubuktikan bahwa aku adalah Tiara yang hebat. Dalam hati, perasaan takut pun datang ketika ku lihat lawanku yang berbadan tinggi dan terkenal ganas berdiri tepat di depanku, aku sempat terjatuh dan nafasku terasa sesak ketika kakinya menentang tepat di dadaku. Namun, siapa sangka bila keinginanku untuk menjadi Sang Juara terwujud, aku menang dan meraih juara satu dipertandingan silat nasional di Bandung. “Kita panggil, juara nasional silat tahun ini. Tiara Ashilla Permata dari Jakarta.” Panggil pembawa acara. Dengan diiringi tepuk tangan meriah, ku naiki podium kebesaranku, dan kurasakan aku sangat dihargai disini.
Setibanya dirumah, kuletakkan foto keberhasilanku diruang tamu, namun disaat kedatangan kak Dara dan yang lainnya, kulihat kemurungan disana. Dan setelah melihat foto keberhasilanku, kak Intan malah menangis, sembari ia copot foto yang telah ku pajang lalu ia jatuhkan ke lantai hingga kacanya pecah berserakan, ia pun berlari menuju kamarnya.
“Kamu sengaja meledek Intan ?” Tanya Papa dengan sinis.
“Tidak Pa! Tiara tidak merasa meledek kak Intan,
Tiara tidak melakukan apa-apa sama kak Intan,
Pa!” tanyaku tak mengerti.
“Intan kalah sedangkan kamu menyombongkan diri dengan memajang fotomu diruang ini. kamu tahu kan bahwa diruang ini hanya foto-foto keberhasilan Intan yang boleh menempatinya.” Jawab Papa yang membuatku sangat kecewa.
“Lepas Fotomu!” ucap Mama dengan agak ketus padaku!”
“Intan kalah sedangkan kamu menyombongkan diri dengan memajang fotomu diruang ini. kamu tahu kan bahwa diruang ini hanya foto-foto keberhasilan Intan yang boleh menempatinya.” Jawab Papa yang membuatku sangat kecewa.
“Lepas Fotomu!” ucap Mama dengan agak ketus padaku!”
Kulepas foto yang sangat aku harapkan menjadi
penghubung agar keluargaku menyanjungku. Sebuah harapan yang sejak dulu selalu
ku inginkan. Karena aku selalu iri disetiap kak Dara dipuji dan disanjung oleh
papa dan mama, serta semua tamu yang pernah berkunjung kerumahku. Sekarang pertanyaan
terbesarku adalah..
“Apakah aku anak kandungmu Ma ? Pa ?”
Pertanyaan yang tak pernah terjawab oleh lisan, namun terjawab oleh perbuatan mereka padaku. Seorang anak yang selalu tersingkirkan oleh ketidakadilan.
“Apakah aku anak kandungmu Ma ? Pa ?”
Pertanyaan yang tak pernah terjawab oleh lisan, namun terjawab oleh perbuatan mereka padaku. Seorang anak yang selalu tersingkirkan oleh ketidakadilan.
Hari demi hari terus berganti, dan semenjak itu
pula kak Dara menjadi seseorang yang terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya
yang tertekan karena ia kalah di Olimpiade. Yang ku tahu, kakakku ini terlihat
lemah dari yang biasanya.
“Udahlah kak, ga ada gunanya ditangisin terus,
kak.” Ucapku menyemangati.
“Kamu senang kan lihat aku seperti ini ? Kamu
senang kan lihat aku kalah ? Biar kamu tuh dapat sanjungan dari Mama dan Papa,
biar kamu disayang-sayang.” Jawabnya sembari menangis .
“Tidak, kak, Tiara tidak pernah ada niat seperti itu.” Sahutku.
“Udahlah, pergi kamu dari kamarku, pergi…” Ucapnya terpotong karena akhirnya ia terjatuh tepat didepanku.
“Pa, Ma, tolong kak Intan. Kak Intan jatuh Pa!” Teriakku.
“Apa ? Kamu apakan Intan ? Dasar anak pembawa sial kamu!” Bentak Papa sembari mendorongku.
“Tidak, kak, Tiara tidak pernah ada niat seperti itu.” Sahutku.
“Udahlah, pergi kamu dari kamarku, pergi…” Ucapnya terpotong karena akhirnya ia terjatuh tepat didepanku.
“Pa, Ma, tolong kak Intan. Kak Intan jatuh Pa!” Teriakku.
“Apa ? Kamu apakan Intan ? Dasar anak pembawa sial kamu!” Bentak Papa sembari mendorongku.
“Tiara tidak ngapa-ngapain kak Intan, Pa. kan
Intan tiba-tiba saja jatuh pingsan, Pa..” Sahutku dengan menyembunyikan kesakitanku .
“Pasti penyakitnya kambuh lagi Pa, ayo cepat kita bawa kerumah sakit.” Ucapku pada Papa.
“Pasti penyakitnya kambuh lagi Pa, ayo cepat kita bawa kerumah sakit.” Ucapku pada Papa.
“Diam kamu!” Bentak Mama .
Aku sangat khawatir dengan keadaan kak Intan,
ingin rasanya aku jenguk ia ke Rumah Sakit, namun Papa sama Mama melarangku.
Ini sudah empat hari lamanya kak Intan di Rumah Sakit, dan aku sudah tidak
tahan lagi, aku tidak bisa terus berdiam diri di rumah, diam-diam aku pergi ke
Rumah Sakit dan bertanya kepada seorang Dokter yang baru saja keluar dari kamar
kak Intan.
“Maaf, Dok.. Boleh saya bertanya ?” Tanyaku
dengan sopan.
“Iya.. Ada apa,
dik ?”
“Pasien yang dirawat di kamar tadi menderita
penyakit apa, Dok ?”
“Pasien itu menderita penyakit gagal ginjal.,
kini ia membutuhkan donor ginjal karena ginjalnya yang hanya tinggal satu sudah
rusak parah, dan apabila tidak segera dioperasi, maka akan membahayakan
nyawanya.” Jawab Dokter.
“Satu ginjal, Dok ?” Tanyaku dengan mata yang
berkaca-kaca.
“Iya, ini sudah untuk kedua kalinya anak itu
melakukan operasi, kejadian serupa sepuluh tahun yang lalu anak itu juga pernah
melakukan operasi gagal ginjal.”
“Berarti, sekarang kak Intan sudah tidak
memiliki ginjal lagi, dan itu akan membahayakan nyawanya, begitu juga aku akan
kehilangan kakak tercintaku untuk selamanya. Itu pun bila kak Intan melakukan
kemotherapy (cuci darah) setiap bulannya tidak akan menutup kemungkinan kak
Intan akan hidup lebih lama lagi, cepat atau lambat kak Intan pasti akan
meninggal.” Pikirku panjang.
“Maaf, dik. Saya harus kembali ke ruangan saya,
masih banyak pasien lagi yang saya tangani.” Kata Pak Dokter sembari berlalu.
Aku pun berjalan dengan langkah yang berat, tak
kuasa ku tahan air mataku dan berpikir keras untuk mendapatkan donor ginjal
yang tepat untuk kak Intan. Dalam hati ku berpikir untuk mendonrkan ginjalku
kepada kak Intan. Namun, aku rasa itu tidak mungkin, aku juga memiliki satu
ginjal, karena semasih aku berusia lima tahun juga pernah jatuh dari ayunan,
dan luka parah di bagian perut. Ginjalku terhimpit, sehingga harus dioperasi
tanpa sepengetahuan Papa dan Mama, dan itu hanya Om Robbert dan kak Aga yang
mengetahinya, Om Robbert yang membayar biaya operasi waktu itu. Bila ku
donorkan ginjalku, maka aku yang harus pergi, tapi apabila tidak ku donorkan
maka aku akan kehilangan kak Intan untuk selama-lamanya. Di suatu malam ku
pikirkan kembali niatku itu untuk mendonorkan satu-satunya gijal yang ku punya
untuk ka Intan. Aku berpikir bila aku yang harus pergi, aku akan terbebas dari
rasa sakit hati karena ketidakadilan, dan aku juga akan sangat bahagia di alam
sana melihat keluarga tercinta bahagia tanpa diriku dari alam surga.
Pada suatu pagi, aku pun kembali menemui Dokter
itu did ala ruangan dan berbicara empat mata secara pribadi. Aku menceritakan
bahwa aku akan mendonorkan ginjal satu-satunya yang aku kepada kak Intan, aku
juga mengatakan bahwa aku sangat bahagia bisa mendodorkan darahku kepada
seorang kakak yang sangat aku cintai. Dokter itu sempat menolak untuk
mencangkok ginjalku, karena ia beranggapan bahwa itu sama saja artinya bahwa ia
akan melakukan tidak kriminal pembunuhan dan ia juga berbohong mengatakan
ginjalku tak cocok untuk kak Intan. Aku tetap memaksa, dan terus membujuk
hingga akhirnya ia akhirnya bersedia mencangkok ginjalku.
Beberapa jam sebelum perasi pencangkokan
dilakukan, aku menulis sepucuk surat untuk semua orang yang aku sayangi.
Entahlah, aku merasa sangat bahagia ketika ku tahu bahwa aku akan pergi
meninggalkan keluarga tercintaku untuk selamanya. Aku merasa telah lelah
menjalani hidupku, setelah ku selesai menulis surat itu aku menitipkannya
kepada Bi Imah yang sedang berada di sampingku, ia tampak terlihat sedih, air
matanya bercucuran melihatku yang kini terbaring di sebuah tempat tidur yang
terang dan banyak terlihat benda-benda tajam untuk operasi. Ruang operasi ini
terasa begitu menakutkan, semua benda yang ku lihat hanyalah jarum suntik dan
gunting. Aku dibawa lebih dulu ke ruang operasi agar tidak ada yang tahu siapa
sebenarnya orang yang telah mendonrkan ginjalnya kepada kak Intan secara
gratis. Posisiku dan kak Intan dipisahkan oleh dinding pembatas, hingga
akhirnya aku dibius dan ku lihat hanya gelap.
Beberapa jam kemudian, aku tak tahu apa yang
telah terjadi di luar sana, kata Dokter kak Intan telah sadar dan keluargaku
menanyakan siapa pendonorginjal itu. Dokter menepati janjinya dan hanya
mengatakan bahwa pendonor itu mengatakan bahwa identitas pendonor itu telah
dirahasiakan
“Dok, siapa yang mendonorkan ginjalnya untuk
anak saya ?” Tanya Papa kepada Dokter.
“Maaf Pak, pendonor yang berhati mulia itu
meminta agar identitasnya dirahasiakan.”
Di dalam kamar yang ditempati kak Intan tampak
ramai, sempat pula terjadi konflik ketika kak Ian dan kak Aga dua orang kekasih
kak Intan datang bersamaan menjenguk ke Rumah Sakit. Hampir terjadi perkelahian
ketika kak Ian tahu bahwa dirinya telah dihianati oleh kekasihnya, namun
kejadian itu tak terjadi karena Bi Imah datang sembari membawa sepucuk surat
dan air matanya masih tetap mengalih membasahi pipinya. Isi surat itu adalah..
Untuk
semua orang yang sangat Tiara sayang.. mungkin saat kalian baca surat ini Tiara
tidak ada lagi disini.. Tiara udah pergi ke tempat yang sangat jauh di surga..
Oh
iya, gimana kabar kak Intan ? Kak Intan udah siuman, kan ? Semoga ginjalku
dapat membantu intuk meraih semua iimpian dan cita-cita kakak yang belum
terwujud…
Andai
saja kakak tahu, sesungguhnya Tiara ga ada sedikitpun niat untuk merenggut
kasih sayang Papa sama Mama dari kak Intan, hanya saja terkadang Tiara merasa iri melihat kakak yang
selalu di sayang sama Mama dan Papa, Tiara pengen banget diperlakukan sama
sepeti kakak oleh Mama dan Papa..
Teruntuk
Papa sama Mama, sekarang ga ada lagi Tiara yang ga sopan di rumah karena si
pembuat onar udah pergi untuk selamanya dan tak akan pernah kembali lagi..
Hidup kalian udah tenang, kan ? Tiara selalu ingin dicium Mama saat akan
tertidur, kangen banget sama pelukan Mama, kangen sama pehatian Mama yang
selalu memotivasi kak Intan, apalagi pada saat itu Tiara di pihak kak Intan,
Tiara ga akan pernah bisa melupakannya..
Untuk
kak Reza, kakak ga akan terganggu lalgi belajarnya, ga ada lagu yang nyetel
musik keras-keras.. Semuanya tenang dan tentram di rumah.. Kalian ga akan
pernah tahu bagaimana sebenarnya Tiara menyayangi kalian semua, Tara setiap
malam selalu menangis di dalam kamar, kalian beda-bedakan Tiara dengan kak
Intan.. Tiara merasa telah tak dianggap lagi.. Oh Tuhan, Tiara harap Tuhan
selalu menyertai setiap langkah kalian.. Amin..
Tiara
Ashilla Permata
Semua yang mendengar isi surat itu pun menangis
dan tak kuasa menahan air mata, mereka bertanya-tanya kepada Bi Imah dimana
Tiara, namun Bi Imah hanya terdiam sembari mengusap-usap air matanya yang
menetes. Ian pun dengan segera berlari meninggalkan ruangan, dan berlari
mencari Dokter yang menangani operasi pencangkokan ginjal Intan dan Tiara. Sesaat
kemudian, mereka pun akhirnya bertemu di sebuah ruangan yang gelap.
“Dokter, dimana Tiara ?” Tanya Ian sembari
melangkah dengan langkah pelan mendekat, namun Dokter itu hanya terdiam.
“Aku Tanya dimana Tiara ? Dimana dia ??”
Teriaknya dengan lantang.
“Maafkan saya, saya tidak bisa berkata apa-apa.
Tiara anak berhati mulia yang kamu cari tak terselamatkan oleh kami. Tuhan
telah memanggilnya..”
“Aku mau dia tetap hidup, bagaimanapun caranya,
Dok! Tolong bantu saya..”
“Maaf, Nak..” Jawab Pak Dokter singkat.
“Dokter, tolong bantu saya.. Saya mohon!” Ian
pun jatuh terpaku tak berdaya.
“Terkecuali kamu bisa mendapatkan donor ginjal
sekarang juga, mungkin dia bisa terselamatkan.” Kata Pak Dokter.
“Baiklah, jika itu yang bisa membuat Tiara hidup
kembali, maka hari ini juga akan aku dapatkan donor ginjal untuk Tiara.” Kata
Ian meyakinkan.
“Itu mustahil, Nak.. Relakanlah kepergiannya..”
Kata Pak Dokter berucap sedih.
“Anda ini Dokter semacam apa ? Tidak.. tidak ada
yang mustahil.. Hari ini juga akan buktikan bahwa kata-katamu itu yang
mustahil.. Tiara akan kembali, dia belum mati. Dia akan hidup bersamaku, aku
akan menemaninya sampai akhir hayatku!!” Ian tampak sangat marah, sembari ia
teteskan air mata.
“Buktikanlah..” Sambung Pak Dokter.
“Ambil ginjalku.. aku punya dua buah ginjal!”
Kata Ian mengejutkan kedua orang tuanya yang baru saja sampai ruangan itu.
“Tidak.. saya tidak akan melakukan kesalahan
untuk yang kedua kalinya..” Jawab Dokter menolak.
“Dokter..
Tolong Dok! Jika resikonya adalah kematian, maka kami akan mati
bersama!´Kata Ian menegaskan.
Berkali-kali Dokter menolak permintaan konyol
Ian, berkali-kali pula Ian memaksa. Hingga akhirnya Pak Dokter yang mengalah,
ia bersedia mencangkok ginjal Ian, namun sebelum operasi pencangkokan ginjal
terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap kesehatan pendonor. Keluarga Ian
dan keluarga Tiara pun hanya bisa mendoakan semoga operasi berjalan dengan
lancar. Dua jam lamanya operasi dilakukan, hingga pada akhirnya Pak Dokter
keluar dari ruang operasi.
“Dok, bagaimana keadaan putra saya, Dok ?” Tanya
Tante Della sangat khawatir.
“Ibu dan Bapak tidak usah cemas, putra kalian
baik-baik saja.” Jawab Pak Dokter sembari tersenyum manis.
“Lalu.. bagaimana dengan putrid saya, Dok ?”
Tanya Tuan Herlambang ayah Tiara yang juga terlihat cemas.
“Putri Bapak.. kami belum bisa memastikannya, ia
kekurangan banyak darah. Namun, Bapak tidak perlu cemas karena kami juga sudah
mendapatkan donor darah untuknya.”
“Siapa yang mendonorkan darah sebanyak itu Dok
?” Tanya Tuan Herlambang.
“Dia mengaku bahwa dirinya adalah ibu kandung
dari Tiara. Saya kira Bapak sudah mengetahuinya sebelum operasi dilakukan.”
Jawab Pak Dokter.
“Ibu kandungnya ? Apakah
dia Ashilla ? Dia masih hidup ?” Pikir Tuan Herlambang.
“Dimana sekarang dia,
Dok ? Saya ingin bertemu dengannya.”
“Dia ada di ruang
operasi sedang menemani anak Bapak.”
Pak Herlambang pun
bergegas menemui pendonor darah yang mengaku ibu kandungnya itu di ruang
operasi. Terlihat seorang wanita yang duduk menemani Tiara, ia tampak sedih
melihat Tiara yang sedang terbaring lemah. Ketika wanita itu melihat Pak
Herlambang sedang berjalan mendekat ke arahnya, tiba-tiba saja wanita itu
mendekat dan memukul Pak Herlambang. Serentak ia berteriak lantang.
“Ayah semacam apa kamu,
Mas ? Kamu sia-siakan putri kandungmu sendiri. Kami memang berasal dari
keluarga yang terpandang hina, tapi kami masih punya harga diri. Aku titipkan
darah dagingmu sendiri kepadamu, dengan harapan ia mendapat kehidupan yang
layak. Tapi apa ? Kamu memperlakukan dia bukan seperti putri kandungmu.” Ucap wanita
itu dengan penuh emosi sembari menangis.
“Maafkan aku, aku seorang
Ayah yang jahat.” Ucap Tuan Herlambang.
“Kata-kata maaf kamu
tidak akan pernah bisa menyembuhkan luka yang kamu goreskan, Mas. Jika sampai
putriku mati, maka aku juga akan membunuhmu, Mas!”
“Kamu bicara apa ? Aku
tidak akan membiarkan suamiku dibunuh oleh seorang perempuan hina seperti kamu!
Sebelum kamu membunuh suamiku, maka kamu yang akan mati duluan.” Sahut Nyonya
Kharisma seorang ibu dari Tiara yang ternyata adalah Ibu tiri dari Tiara.
Bu Ashilla ibu kandung
Tiara pun marah dan mencakar wajah Bu Kharisma hingga berdarah, Pak Dokter yang
menyaksikan pun segera memanggil Security dan melerai perkelahian mereka. Pak
Herlambang dengan segera menarik Bu Kharisma keluar, dan pulang ke rumahnya
bersama dengan Intan yang baru saja siuman serta Reza. Sesampainya di rumah, Bu
Kharisma bercermin dan melihat wajahnya yang membengkak akibat cakaran dari Bu
Ashilla.
“Pa.. siapa wanita tadi,
Pa ? Kenapa dia ngaku-ngaku jadi Ibu kandung dari Tiara ? Terus kenapa juga
Papa tampak sedih melihat Tiara, juga mengatakan bahwa Papa adalah seorang Ayah
yang jahat ? Bukankah Tiara adalah anak yang kita pungut dari tong sampah ?
Apakah mungkin Papa dan Tiara ada hubungannya dengan wanita itu ?” Tanya Nyonya
Kharisma penasaran.
“Kharisma.. akan
mengungkap sebuah rahasia yang telah lama aku simpan secara pribadi. Wanita itu
namanya Ashilla, dia adalah seorang perempuan yang sangat aku cintai sebelum
aku menenalmu. Namun, cinta kami tidak dapat dipersatukan, karena keluargaku
tidak setuju jika aku menikah dengan perempuan yang bukan berasal dari keluarga
terhormat. Akhirnya kami berpisah selama dua tahun, dan aku menikah denganmu
karena perjodohan. Tak terasa telah lama menikah denganmu aku dikaruniai dua
orang anak, yaitu Reza dan Intan. Tapi tahukah kamu ? Aku juga mempunyai
seorang putri yang terlahir dari rahim seorang perempuan yang dulu ku cintai.
Cinta kami bersemi kembali di sebuah pondok kecil dekat hutan.”
“Maksud Mas apa ? Mas
menghianati saya ?”
“Aku mencintainya, bukan
maksudku untuk menghianatimu. Rasanya tak mungkin bila aku menikahi Ashilla
yang tengah mengandung anakku, terpaksa aku tinggalkan dia dan kembali padamu.
Pada suatu malam untuk terakhir kalinya aku melihatnya, dia melahirkan bayi
perempuan yang kemudian aku beri nama Tiara Ashilla Permata. Yang aku ketahui,
Ashilla telah meninggal dunia, namun ternyata itu hanyalah rekayasa. Ashilla
masih hidup.”
“Lalu, kenapa kamu
mengatakan padaku bahwa dia anak yang kamu pungut dari tong sampah ? Kenapa
juga kamu memperlakukannya bukan seperti putri kandungmu, Mas ?”
“Karena pada waktu itu
aku takut berkata jujur padamu, Kharisma. Dan setiap aku melihat wajah Tiara,
aku teringat akan Ashilla. Dalam hatiku penuh dengan kebencian, kelahiran Tiara
aku anggap sebagai penyebab kematian Ashilla. Aku membencinya..” Pak Herlambang
pun meneteskan air matanya karena tak bisa lagi menahan kesedihan yang telah
lama ia sembunyikan.
“Oh Tuhan.. aku pun juga
berdosa, Mas. Selama ini aku telah membenci anak itu. Aku harus minta maaf
padanya, Mas..” Nyonya Kharisma pun merasa sangat menyesal.
“Itulah sebabnya aku
member nama kedua Intan dengan menambahkan Ashilla, aku berharap bahwa Intan
akan menjadi putriku yang memiliki kemiripan dengan Ashilla.”
Dua hari kemudian, Tuan
Herlambang dan Nyonya Kharisma kembali ke Rumah Sakit untuk menjenguk Tiara
yang telah siuman dan sebentar lagi akan pulang bersama dengan Ibu kandungnya
yang sesungguhnya.
“Tiara.. sekarang kita
pulang. Bunda tidak punya cukup uang untuk membayar tagihan Rumah Sakit bila
kamu dirawat lebih lama lagi.” Kata Bunda kepadaku.
“Iya, Bunda. Tapi, biaya
operasi kan belum dibayar.. Kita juga tidak bisa pulang, kan ?” Tanyaku.
“Semua sudah dibayar
oleh keluarga Om Anwar, tapi Bunda tidak akan memintanya secara cuma-cuma,
Bunda pasti akan mengembalikan uang mereka suatu saat nanti, yang tidak Bunda
ketahui kapan Bunda bisa membayarnya.” Kata Bunda meyakinkan kepadaku.
“Semua biaya Rumah Sakit sudah Om sama Tante
yang bayar. Mbak Ashilla tidak perlu mengembalikannya, kami iklas.” Sambung
Tante Della, dan Om Anwar ikut tersenyum.
“Kamu ga usah kembaliin segala
kali, Ra. Aku juga iklas, walaupun sebenarnya bersyarat juga. Tapi, karena
takut dibilang nanti ga iklas ya ga dibilang.” Kata kak Ian meledekku.
“Apa ?”
“Ah.. nanti aja kalau
waktunya udah tepat, ini mah terlalu cepat. Aku juga belum menyelesaikan
masalah sama Intan kakak kamu yang penghianat itu.”
Sesaat kemudian Papa
sama Mama tiri aku datang di saat kami akan meninggalkan ruangan, Papa
mendekatiku dan ia memelukku dengan dekapan kasih sayang, begitu pula dengan
Mama.
“Tiara.. maafkan Papa
sama Mama yang selama ini sudah memperlakukan kamu secara tidak adil.” Kata
Mama sembari meneteskan air matanya.
“Tiara belum sembuh
total.. dia harus dirawat secara itensif di Rumah Sakit untuk beberapa hari
lagi.” Kata Papa kepada Bunda.
“Sejak kapan Mas peduli
dengan kesehatan Tiara ? Biaya Rumah Sakit saja belum Mas bayar, malah keluarga
dari Pak Anwar dan Bu Dela yang bukan siapa-siapa Tiara yang membayar semua
tagihan Rumah Sakit. Mau dirawat beberpa hari lagi di Rumah Sakit mau pakai apa
? Suruh Pak Anwar lagi yang bayar ? Kamu ga punya otak, Mas.”
“Aku yang akan
membayarnya, akan ku kembalikan semua uang yang ia keluarkan untuk membayar
tagihan Rumah Sakit.”
“Maaf, Mas. Sekarang
Tiara akan pulang sama aku.”
“Kamu mau bawa Tiara
kemana ?”
“Ke rumahku di kampung,
Mas.”
“Kamu mau beri dia makan
apa disana ? Tiara akan tinggal denganku, karena aku bisa memberikan dia
kehidupan yang layak. Sedangkan bila ikut kamu, apakah dia bisa bersekolah ?
Aku rasa dia akan putus sekolah dan akhirnya akan menjadi pembantu rumah tangga
kemudian menikah. Masa depan dia akan menjadi kelabu.”
“Aku bisa memberinya
makan, walaupun itu hanya ubi keladi san sayur daun singkong, yang jelas dia
tidak makan hati karena ketidakadilan. Aku akan berusaha menyekolahkan dia
setinggi-tingginya meskipun tidak di tempat favorit. Masa depannya akan cerah
bersamaku suatu saat nanti.”
”Sudah diam! Tiara lebih
baik mati saja jika Papa sama Bunda bertengkar seperti ini terus. Tiara tidak
mau ikut siapa-siapa, kalian puas ??”
Kesabaranku pun telah
habis, aku sangat sedih meliahat kedua Papa dan Bunda bertengkar. Sesungguhnya
aku berharap Papa sama Bunda dapat bersatu kembali. Tapi, aku rasa itu tidak
mungkin karena Mama juga istri dari Papa. Aku memutuskan untuk pergi dari
mereka, dan berjalan menyusuri pantai hingga mereka kehilangan jejakku. Namun,
tidak berlaku bagi kak Ian, ia diam-diam membuntutiku dan menyergapku. Sembari
duduk-duduk di sebuah batu pinggir pantai kami berdua berbincang-bincang saling
bertukar cerita dari hati ke hati.
“Kenapa kamu lari, Ra ?”
“Tiara malu kak.. Tiara
sedih melihat mereka terus-terusan bertengkar seolah-olah seperti kucing dan
tikus. Lebih baik Tiara ga tahu kebenaran ini kak. Lebih baik Tiara mati saja,
Tiara benci banget sama pendonor ginjal itu. Coba saja dia
Best Coin Casino Sites 2021 | CasinoWebsites
BalasHapusLooking for Coin Casino Sites 코인카지노 가입코드 in 2021? ➤ ⭐ ⭐⭐ ⭐ ⭐ ⭐ ⭐ Play at top casino sites. ➤ ✓ List of all CoinCasino.com™
Casino at Foxwoods Resort - Mapyro
BalasHapusCasino 남원 출장안마 at Foxwoods Resort features a casino with 50 table 부천 출장안마 games. Slots, 안산 출장안마 table 청주 출장마사지 games, live entertainment and more - all within a 15-minute drive of Foxwoods 계룡 출장샵