Senin, 14 Maret 2016

STORY OF MY LIFE

STORY OF MY LIFE
Namaku Tiara Ashilla Permata, aku adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, tepatnya aku anak yang paling bungsu. Kini aku telah duduk di bangku kelas dua di SMA . Kakak pertamaku namanya Reza Diandra Herlambang, nama terakhir adalah nama dari Papa, dia sudah kuliah dan sekarang sudah semester ke dua. Dan saudara perempuanku Intan Ashilla Permata  yang kini telah duduk di bangku kelas tiga SMA di sekolah yang lebih berkelas daripada sekolahku yang merupakan sekolah yang memungut anak buangan dari sekolah lain. Jika dipertanyakan, kenapa Mama sama Papa menyekolahkan kami di dua sekolah yang berbeda, jawabannya itu karena kak Intan lebih pintar daripada aku. Bahkan jika dibandingkan dengan kak Reza dan kak Intan mereka memiliki IQ yang lebih dariku, mereka merupakan anak-anak yang cerdas, sedangkan aku hanyalah anak yang paling bodoh, sewaktu aku semasih SD aku pernah tidak naik di kelas tiga SD, dan itu sungguh memalukan.
Sebenarnya, dibalik semua latar belakangku itu yang penuh dengan kekurangan, aku juga merasa bingung dengan diriku sendiri, kenapa hanya aku anak Mama sama Papa yang paling aneh, aku yang paling kurang dari mereka berdua. Makanya aku tidak pernah heran jika mama sama Papa gak sayang lagi sama aku, hanya saja aku sedikit sedih  setiap harinya. Kata siapa kalau anak yang paling bungsu  itu adalah anak yang paling disayang, anak yang paling dimanja ? Tapi malah sebaliknya, buktinya saja aku yang jarang mendapat kasih sayang dari Mama sama Papa, seolah-olah aku tidak dianggap sama sekali oleh mereka. Setiap malam aku hanya berbekal duka dalam kesunyian, tidak seperti kak Intan yang setiap malamnya Mama selalu dicium keningnya, aku sangat iri sama kak Intan. Olehnya,aku juga jarang makan sehingga beginilah jadinya, aku jadi kurus dan sakit maag yang sering muncul.
Malam yang sejuk mengiringi kesepianku, angin malam turut membelai rambutku,menemaniku yang tengah sendiri menatap indahnya langit yang bertaburkan bintang-bintang. Mereka bagaikan teman yang paling setia dikesendirianku dalam ketidakadilan.   “Oh Tuhan, kapankah semuanya ini akan berubah ? Akankah ku dapatkan kasih sayang dari Mama sama Papa yang akan menyayangiku dengan tulus ?” Tanyaku dalam pengharapan.
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dengancukup pelan.
“Pasti Bi Imah..” Tebakku.
“Iya Bi.. sebentar!” Sahutku sembari berjalan dari serambi kamar.
“Maaf Non.. waktunya makan malam, yang lain sudah pada ngumpul di bawah.” Ucap Bi Imah saat pintu kamarku terbuka.
“Okey Bi, Tiara juga udah lapar banget nih.. cacing-cacing di perut Tiara udah pada protes.. (candaku) Oh iya Bi, yang nyuruh Tiara turun pasti Mama sama Papa kan ? Mereka pasti khawatir sama keadaan Tiara. Hm.. akhirnya mereka mencemaskan Tiara juga.’
Bi Imah adalah orang yang merawatku dari kecil, bagiku Bi Imah sudah seperti Ibu kandungku sendiri. Di rumah, hanyalah Bi Imah yang paling peduli dengan keadaanku. Disaat aku sakit, hanya dia yang selalu repot menyiapkan obat untukku,hanya dia yang selalu tahu betapa sedihnya aku disaat nilai raportku jauh dari nilai kak Intan, hanya dia yang tahu betapa aku ingin seperti kak Intan yang selalu bisa membuat Mama sama Papa bangga dengan prestasi-prestasi yang ia raih.
Ketika aku sampai di meja makan, dengan perasaan yang bahagia aku tersenyun karena aku akan berkumpul dengan orang-orang yang sangat aku sayangi.
“Wah.. ada ayam bakar sama kentang goring buatan Bi Imah nih. Hm.. maknyusss..” Ucapku seraya menduduki kursi favoritku.
“Dasar tidak sopan..” Sindir Papa padaku.
“Makanya, jangan nyerocos aja dong jadi cewek, emang gitu ya anak yang ga tahu etika.” Timpal kak Reza.
“Iya Ra, kamu mending duduk dulu deh baru ngomong kan Mama sama Papa ada disini, jadi lebih sopan dikit bisa gak sih ?” Tambah Kak Intan.
“Iya, betul tuh kata Intan, contoh dia!” Sambung Mama.
“Okey, Tiara pergi Ma.. Pa.. maaf jika Tiara ganggu suasana makan kalian. Silahkan makan!” Ucapku dengan sinis.
Aku pun bergegas naik menuju kamarku, tanpa sedikitpun menyentuh makanan disana, padahal sebenarnya penyakit maag yang ku derita kambuh lagi dan rasanya sangat perih. Tapi lebih perih lagi disaat aku tak pernah mendapatkan kasih saying dari orang-orang yang aku sayangi.
Pagi pun telah tiba, dari ufuk timur matahari bersinar dengan terangnya, hingga aku terbangun karena silau sinarnya yang menerpa mataku dari celah-celah jendela kamarku yang sedikit terbuka. Aku bergegas mandi dan memakai pakaian sekolahku lengkap dengan tas yang berisi buku-buku peajaran yang telah aku pelajari tadi malam disaat aku tengah menyendiri. Pagi ini aku tak ingin sarapan, aku hanya mengunjungi Bi Imah yang ternyata sedang menyiapkan bekal untukku.
“Makasih ya Bi.. Bi Imah udah repot-repot buatin Tiara bekal. Sedangkan orang tua kandung Tiara sendiri tidak pernah sekalipun mereka mau memperhatikan Tiara.” Kataku dengan nada bersedih.
“Sudahlah Non Tiara tidak usah bersedih, mungkin Tuan sama Nyonya lagi sibuk, jadi ga sempat ada waktu buat Non..” Timpal Bi Imah.
“Tapi kenapa ko’ cuma buat Tiara aja mereka engga ada waktu Bi ? Tapi buat kak Reza sama kak Intan mereka selalu ada waktu, bahkan itu setiap hari Bi..” Aku pun menangis.
“Eh Non.. jangan nangis, ayo semangat sekolahnya.. buktikanlah yang terbaik untuk Tuan sama Nyonya, dan yakinlah kalau Non Tiara bisa juga berprestasi seperti Non Intan.” Kata Bi Imah memberiku semangat.
Setibanya di sekolah, aku segera menuju ruangan tempatku ulangan, jadwal ulangan hari ini adalah Matematika dan Bahasa Inggris. Pelajaram Matematika, pelajaran menghitung yang paling meyebalkan bagiku, karena aku tak seperti kak Intan yang jago menghitung, buktinya aja dia pernah dapat juara tiga lomba Matematika mewakili sekolah di tingkat kabupaten. Dugaanku tepat, soal kali ini susahnya minta ampun, hingga kertas ulanganku hampir tak terisi sama sekali. Tapi, kalau Bahasa Inggris, inilah pelajaran favoritku, bukannya menyombongkan diri, semua soal dapat aku kerjakan dengan mudah, dan aku yakin paling sedikit dari seratus soal bisa salah cuma dua soal saja jika jawabannku agak meleset. Aku bisa Bahasa Inggris karena sejak aku kecil aku selalu diajarkan berbicara dengan Bahasa Inggris oleh Om Robert teman dekat Papa dari Jerman. Om Robert sangat menyayangiku jauh lebih besar dari orang tua kandungku semasih ia tinggal di Jakarta. Namun, kini Om Robert telah pindah ke Amerika Serikat dengan putra tunggalnya Brian, disaat Tante Ririn meninggal dunia karena kanker darah yang dideritanya sepuluh tahun yang lalu.
Hari ini aku memutuskan untuk tidak pulang setelah ulangan umum, hari ini aku akan menghabiskan waktu di Padepokan sampai jam tujuh malam. Rasanya lebih damai bila aku berada di luar rumah, dibandingkan jika aku di rumah pastinya aku akan nyesek setiap hari melihat keharmonisan keluargaku tanpa ada aku ditengah-tengah canda tawa mereka. “Selamat siang Paman..” Kataku pada Paman Bintang. Paman Bintang adalah kakak tiri dari Mama, Paman adalah orang yang juga cukup tahu tentang aku, dan aku juga pernah ceritakan padanya tentang ketidakadilah dalam keluargaku, disakasikan oleh anaknya Si Bintang yang sekarang juga sekelas denganku.
“Selamat siang juga nak Tiara..Kamu ga pulang nak ?” Balas Paman.
“Engga ah Paman, Tiara nyesek kalau pulang.. Tiara lebih nyaman kalau di Padepokan.”
“Ga boleh gitu nak, nanti bagaimana kalau orang tua kamu nyariin kamu kemana-mana ? Kamu tidak boleh membuat mereka cemas nak..” Kata Paman.
“Mana pernah Papa sama Mama mencemaskan Tiara, Paman ? Mereka kan ga sayang lagi sama Tiara, mungkin bagi mereka Tiara bukan anak kandung mereka.” Ucapku sembari meneteskan air mata.
“Ra, jangan gitu.. Mereka sayang ko’ sama kamu.. hush..” Sambung Bintang.
“Sudahlah, kamu abaikan saja mereka.. Nah, sekarang kamu mending senyum dulu, lima menit lagi anak-anak dari SMA Generasi Bangsa mau ke Padepokan kita nak..”
“Ngapain mereka mau ke sini sih Paman ? Bukankah SMA Generasi Bangsa itu sekolahnya kak Intan ya Paman ?” Tanyaku.
“Iya nak.. kamu benar, nanti ada empat orang yang akan ke sini. Mereka itu murid Paman juga, Paman kan ngajar les di sana setiap hari kamis sore. Dan kali ini merupakan suatu penghormatan bagi Padepokan kita, karena mulai hari ini juga mereka yang akan ke sini untuk latihan..” Jawab Paman jelas.
“Setiap hari kamis sore ? Tapi kan sekarang hari jum’at Paman..” Kataku.
“Kapan pun mereka mau nak.. pintu akan selalu terbuka untuk mereka yang datang ke sini dengan serius untuk belajar silat.”
“Apakah tidak lebih baik saja dibuatkan jadwal ?”
“Ide bagus..”
“Jadi kapan ?”
“Hari seperti biasanya.. hari jum’at dan sabtu.”
Tak lama kemudian suara sepeda motor berbunyi dan berhenti tepat di depan gerbang Padepokan, dan ternyata anak-anak dari SMA Generasi Bangsa telah tiba. Dengan hangat, Paman menyambut mereka.
“Selamat datang di Padepokan kami anak-anak..” Sapa Paman.
“Selamat siang Pak Guru..” Sapa mereka dengan penuh hormat.
“Wah.. ternyata Padepokan bapak memiliki halaman yang sangat luas.” Sanjung Ian salah satu dari empat orang anak itu.
“Ah.. tidak seperti itu nak, masih banyak Padepokan silat lain yang halamannya lebih luas daripada yang kamu lihat saat ini nak.. Oh iya, kenalkan ini keponakan Paman, namanya Tiara.” Ucap Paman.
“Ih.. Paman kenapa sih pake ngenalin Tiara segala sih Paman ?” Desisku.
“Hallo.. nama aku Ian Febrian, panggil aja Ian. Nama kamu siapa ?” Tanya Ian kepadaku, seketika keringat dingin membasahi tubuhku.
“Nama.. nama.. nama aku Tiara, Tiara Ashilla Permata.. kamu bisa panggil aku Tiara.” Kataku sembari mengulurkan tanganku.
“Tiara Ashilla Permata ? Aku juga punya teman, namanya Intan Ashilla Permata, dia sekelas denganku..” Kata Ian terlihat agak kaget, dan dia masih memegang tanganku.
“Hehe.. dia itu kakak saya kak..” Jawabku.
“Kakak kamu ? Tapi wajah kalian tidak mirip sama sekali.”
“Ah sudahlah.. lupakan saja kak,” Ujarku.
Hari demi hari ku lewati, kini hari-hariku diwarnaai oleh senyuman. Aku sangat bahagia sekarang, sebelum kehadiran kak Ian dalam hidupku tak pernah hatiku segembira ini, aku sangat beruntung mempunyai kak Ian yang selalu ada di sampingku disaat aku kesepian. Aku berharap selamanya akan terus seperti ini, dia bagaikan malaikat dalah hatiku. Tapi telah dua bulan berlalu, aku mulai jatuh cinta padanya, aku sungguh berharap kak Ian segera menyatakan cintanya kepadaku. Tepat, besok adalah hari ulang tahun kak Ian, dan kak Ian memintaku untuk hadir di acara ulang tahunnya itu. Entah aku yang memiliki perasaan yang berlebihan, hati kecilku mengatakan bahwa besok malam tepat pukul delapan malam, kak Ian akan segere menyatakan cintanya kepadaku.
“Kak.. kakak ko’ tumben sih ngajakin Tiara ketemuan ? Emang ada apa ya kak ?” Tanyaku.
“Ra.. besok malam kamu bisa ga hadir ke acara pesta ulang tahun kakak ?” Tanya kak Ian.
“Oh iya, Tiara hampir lupa kalau besok itu kan hari ulang tahun kakak.. (penuh kegembiraan) Tapi kak.. mungkin Tiara ga bisa datang kak..” Kataku.
“Kenapa engga bisa ? Harus bisa donk, kamu tahu ga kalau ga ada kamu.. pesta ulang tahun kakak ga akan berarti apa-apa.. Please!!! Hadir ya..” Kak Ian membujukku.
“Huh.. pasti lah Tiara hadir ke pesta ulang tahun kakak, Tiara cuma pengen tahu aja.. seberapa berartinya sih Tiara bagi kakak..” Pikirku sembari tersenyum.
Hari ini pun aku pulang lebih awal, aku langsung menemui Bi Imah yang sedang sibuk mengepel di dapur.
“Bi.. Bi Imah..” Teriakku.
“Ada apa toh Non Tiara panggil-panggil Bibi ?”
“Bi.. Nanti malam Tiara mau ke pesta ulang tahunnya kak Ian, Bi.. Bi Imah bisa ga bantu Tiara nyari gaun yang pas buat Tiara.. Tiara mau tampil cantik nanti malam, karena malam nanti akan menjadi malam yang paling bersejarah buat Tiara, Bi.”
“Walahhh, Non.. Non mah pake gaun apa aja pasti cantik..” Puji Bi Imah.
“Benarkah ? Oh iya Bi.. Mama sama kak Intan ke mana Bi ? Ko’ mereka ga kelihatan dari tadi ?”
“Nyonya sana Non Intan lagi ke Toko Baju.. Katanya sih teman Non Intan hari ini juga ulang tahun, jadi mereka mau beli gaun baru buat dibawa ke pesta temannya Non Intan.”
“Huh.. beruntung banget sih kak Intan, dapat perhatian sampai segitunya dari Mama.. apa-apa pasti baru. Sedangkan Tiara apa Bi ?”
“Sabar Non.. Ssstt..” Desis Bi Imah.
Aku pun menyiapkan gaun beserta aksesoris yang aku perlukan, begitu juga dengan kak Intan yang baru saja datang dari belanja. Ku lihat kak Intan membeli gaun baru berwarna putih, sedangkan aku hanya memakai gaun lama pemberian dari Mama lima tahun yang lalu dan aku tak tahu entah gaun itu masih bagus atau tidak karena baru ku pakai sekali saja di hari ulang tahunku. Menjelang sore, kak Intan sudah mandi dan akan memakai make up. Kak Intan terlihat sangat cantik, karena Mama yang mendandani. Aku juga ingin seperti kak Intan, tapi aku tidak mungkin bisa seperti dia. Ku lihat pula ketika hendak berangkat, kak Intan juga Mama yang mengantar. Tapi aku ga bersedih hati ko’, lagi pula aku sudah sering melihat yang begituan. Aku masih berntung karena ada Bi Imah yang mau mendandani aku dan sepeda yang siap untuk mengantarku ke rumah kak Ian.
Tak lama kemudian, aku pun sampai di rumah kak Ian. Cahaya lampu berkelap-kelip dari kejauhan, terlihat banyak sekali tamu undangan yang datang. Sebenarnya aku merasa malu berada di tengah-tengah mereka, ingin rasanya aku kabur saja, tapi aku terlambat karena kak Ian sudah memanggilku.
“Wah.. kak Ian ganteng banget malam ini..” Sanjungku.
“Ah, biasa aja Ra.. emang cuma malam ini aja ya kakak terlihat ganteng ? Emang kemarin-kemarin kaya monyet ya ?” Canda kak Ian.
“Engga gitu maksud Tiara, kak.. Cuma aja sekarang agak berbeda..” Kataku.
Apun seketika langsung ternganga ketika aku lihat ternyata kak Intan ada di sini juga, tepat berdiri di samping kak Ian. Aku berpikir, sebelum kak Intan melihatku ada di sini, mungkin aku harus pergi. Kak Intan pasti tidak akan suka jika melihatku ada di sini.
“Tiara, kamu ngapain ada di sini ?” Tanya kak Intan kepadaku.
“Em.. m.. Tiara, Tiara..” Aku tak bisa menjawab pertanyaan kak Intan.
“Ada apa ?” Tanya kak Ian yang tiba-tiba sudah berada di belakang kami.
“Engga ada.. hehe..” Kata kak Intan.
“Eh, iya kalian kan saudara.. kenapa kalian tadi ga berangkat barengan ? Kenapa tadi kamu ga semobil sama kakak kamu Ra ? Kenapa tadi kamu naik sepeda ?” Tanya kak Ian.
“Aduhhh.. mati nih, kak Intan pasti marah, aku harus apa sekarang ? Harus ku jawab apa pertanyaan kak Ian ?” Pikirku panjang.
“Ini anak di mana-mana kerjaannya bikin hidupku semakin ruwet saja, nyusahin mulu. Sekarang di mata Ian aku jadi terlihat sangat buruk, awas saja jika sampai Ian membenciku, aku akan membuatmu menyesal.” Pikir kak Intan.
“Ah.. engga kak, Tiara lagi pengen naik sepeda aja tadi. Kan Tiara udah biasa naik sepeda, berangkat sekolah aja Tiara pake sepeda. Lagian.. kalau Tiara naik mobil juga suka mabuk kak, Tiara gak bisa cium bau parfum mobil.” Kataku menyangkal, aku tak mau kak intan marah denganku hanya gara-gara masalah sepele seperti ini.
“Kamu ngapain sih nanya-nanya kaya gitu ? (kesal) Hari ini adalah hari ulang tahun kamu, ya udah langsung aja kita mulai acaranya, tuh lihat tamu-tamu undangannya udah pada datang tuh.. kasihan mereka kalau sampai nunggu lebih lama lagi.” Sambung kak Intan.
Acara pun dimulai juga, semua tamu undangan yang datang menyanyikan lagu “Happy Birthday” untuk kak Ian. Disaksikan oleh kedua orang tuanya dan para tamu undangan yang datang, kak Ian memejamkan matanya, ia mencakupkan kedua tangannya sebelum meniup lilin dan memotong irisan kue pertama, kedua, dan ketiga.
“Apa yang kamu harapkan di usiamu yang sudah menginjak 18 tahun ini, Nak ?” Tanya Om Anwar, Ayah dari kak Ian.
“Harapan Ian itu sederhana Pa.. dan itu rahasia besar Pa.” Jawab Ian.
“Ya udah deh, kalau itu rahasia buat kamu, Nak. Sekarang coba kamu iris kue ulang tahunnya, tiga irisan pertama itu buat siapa saja ? Mama pengen tahu, siapa-siapa saja sih orang-orang yang kamu sayangi dan paling berarti dalam hidupmu.” Kata Tante Della, Ibunya kak Ian.
“Baiklah.. (sembari mengiris kue) Kue irisan pertama akan aku berikan sama orang yang paling aku sayangi, karena dia selalu ada untukku disaat aku lagi butuh dia. Dia seorang perempuan yang sangat hebat. (menoleh ke arah Tante Della) Ma.. ini buat Mama..” Kata kak Ian sembari mecium Ibunya.
“Mama sayang sama kamu, Nak..” Ujar Tante Della.
“Dan, kue irisan kedua.. ini untuk seorang pria yang bisa dikatakan hampir paruhbaya, jika itu dua puluh lima tahun lagi. Dia suka bertengkar denganku gara-gara remote TV, dia sangat mengesalkan, tapi aku sangat beruntung karena jika ada dia.. rumahku tidak sepi lagi.” Kata kak Ian sembari memberikan kue irisan kedua kepada Ayahnya.
Dan kali ini, jantungku yang berdebar begitu cepat. Aku sangat berharap kak Ian akan segera menyatakan cintanya kepadaku, aku terlalu yakin bahwa kue irisan ketiga itu pasti akan diberikannya kepadaku.
“Hm.. kue irisan ketiga ini kira-kira untuk siapa ya ?” Canda kak Ian.
“Ini adalah kue terakhir, ini akan ku berikan kepada seorang gadis yang telah berhasil membuatku jatuh hati padanya, membuatku selalu terbayang wajahnya setiap malam. Dan aku rasa aku telah jatuh cinta padanya. Malam ini juga akan ku ungkapkan perasaan yang telah lama ku pendam padanya, akan ku nyatakan cinta ini untuknya.” Ucap kak Ian.
“Kak.. cepatlah nyatakan cinta itu kak. Akan aku jawab iya, aku mau kak.” Kataku dalam hati.
“(kak Ian menoleh kea rah kak Intan) Tan.. (bertekuk lutut di hadapan Intan sembari memegang setangkai mawar merah) Kamu mau ga jadi pacar aku ?’ Tanya kak Ian kepada kak Intan.
“Ian.. aku ga percaya kalau kamu akan nyatakan cinta juga sama aku Ian. Aku juga sudah lama punya perasaan itu sama kamu Ian.” Kata kak Intan.
“Aku janji akan selalu mencintai kamu, untuk selamanya.. selama kamu ga berhianat sama aku Tan..”
“Aku mau jadi pacar kamu Ian.. karena aku cinta sama kamu. I Love You..” Kata kak Intan sembari memeluk kak Ian.
“I Love You Too..” Balas kak Ian.
Aku lihat sangat jelas dengan mata kepalaku sendiri, kak Ian memberikan sebuah cincin kepada kak Intan, ia memakaikan cincin itu ke jari manis kak Intan dan mencium kening kak Intan. Aku hanya bisa berpura-pura tersenyum di depan mereka berdua, kedua orang tua kak Ian, dan para tamu-tamu undangan yang datang. Namun, rasa sakit hati ini tak bisa ku tahan lebih lama lagi, ini terlalu perih, hati yang telah luka ini bagaikan tertusuk duri-duri yang teramat tajam, teriris silet. Luka ini terasa tersiram lagi oleh air garam. Tak ku sadari, air mataku menetes juga, tak sanggup ku tahan lagi rasa sakit ini.
Aku pun berlari, segera ku tinggalkan mereka yang tengah berbahagia. Ku menagis dalam sepi, ku tak menyangka apa yang aku harapkan hanyalah angan-angan belaka.
“Eh, kamu darimana saja ? Kenapa jam segini baru datang ? Udah tadi juga pergi ga bilang-bilang, apa kamu sudah ga menganggap Mama sama Papa lagi, Ra ?” Tanya Mama yang kebetulan saat itu sedang berada di ruang tamu dengan Papa.
“Darimana saja ? Sejak kapan Mama sama Papa peduli sama Tiara, sejak kapan Mama sama Papa mencemaskan Tiara ? Bukannya kalian yang tidak pernah menganggap Tiara sebagai anak Mama sama Papa ?” Ucapku sembari menangis.
“Tiara, jaga mulut kamu.. Apa itu ajaran yang kamu dapatkan di sekolah ? Rugi Papa menyekolahkan kamu tinggi-tinggi, jika itu membuat kamu semakin berani melawan kedua orang tua kamu yang tua renta ini.” Bentak Papa.
“Hh.. apa belajar itu hanya di sekolah saja Pa ? Apa Papa sama Mama ga sadar, pernah ga Tiara belajar dari orang tua Tiara sendiri ?”
“Bicara apa kamu ?”
“Pertanyaan Tiara adalah, apa Tiara ini anak kandung Papa sama Mama ? Kenapa Tiara selalu kalian abaikan ? Jika Tiara anak kandung kalian, mengapa kalian ga pernah memberikan kasih sayang seperti kalian menyayangi kak Virgo sama  kak Intan ? Sebenarnya, kalian berdua menganggap Tiara sebagai apa di rumah ini Pa.. Ma.. Tiara bosan sama semuanya ini Pa.. Ma..” Aku menangis dan berlari menuju kamarku.
Ku kunci pintu kamarku, ku berbaring, tak dapat ku tahan lagi rasa sedih hati ini. Aku tidak punya siapa-siapa lagi, kak Ian yang dahulu pernah menghiasi hari-hariki dengan senyuman, kini ia telah menjadi milik kak Intan. “Tuhan.. tolonglah aku, aku tak sanggup lagi dengan ujian yang kau berikan kepadaku. Aku tak ingin hidup lagi di dunia yang penuh derita ini, Tuhan.. rasanya aku ingin mati saja. Tolonglah Tuhan, berikan petunjukkmu..”
Pagi pun menjelang, ku berlari menuju kamar mandi. “Aku harus tetap tabah dengan segala ujian ini.. aku tidak boleh lemah. Tetaplah tersenyum, walaupun hatiku ini masih terasa sangat sakit.” Dengan semangat ku bersekolah, tak ku hiraukan lagi mereka yang telah tidak menganggapku lagi.
“Nak..” Kata Papa yang sedang berkumpul debgan keluarga besar mereka di meja makan.
“Papa manggil siapa ? Aku ?” Tanyaku dengan santai.
“Maafkan Papa yang semalam sudah membuat hatimu terluka Nak..” Papa berdiri dan berjalan mendekatiku.
“Papa..” Mataku berkaca-kaca.
Papa mendekapku dengan penuh kasih sayang, aku sungguh bahagia, karena ini pertama kalinya aku merasakan dekapan dari seorang Ayah yang telah lama mengabaikanku.
Waktu pun seakan berjalan dengan sungguh cepat, kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Aku sangat resah kali ini dengan hasil belajarku selama enam bulan, tak seperti sebelumnya aku yyang tampak biasa- biasa saja dengan nilai yang aku peroleh.
“Pa.. Tiara boleh minta ambilin raport Tiara ga ke sekolah, Pa ?” Pintaku.
“Papa sudah janji sama Intan, kalau Papa akan mengambilkan raportnya. Kalian kan beda sekolah.” Jawab Papa.
“Ma.. ambilin raport Tiara ya..” Pintaku lagi pada Mama.
“Mama sudah janji sama Reza kalau Mama akan ke kampusnya hari ini juga, dia kan sebentar lagi mau ke Singapura.” Jawab Mama.
“Oh.. gitu ya.” Balasku dengan nada kecewa.
“Apa hubungannya coba mau ke kampus sama ke Singapura, bilang aja terang-terangan kalau Mama ga mau ngambilin raportnya Tiara.” Pikirku.
Aku hanya bisa menangis sendirian di dalam kamar, tidak ada satu orang pun yang mau mengambilkan raportku. Jalan terakhir adalah Bi Imah, dan tentu saja ia tidak akan menolak permintaanku.
“Gimana, Bi hasilnya ?”
“Non Tiara dapat juara satu..” Jawab Bi Imah dengan sangat gembira.
“Hah ? Bibi serius..”
Aku pun begitu sangat bangga dengan diriku sendiri, karena akhirnya aku dapat menyamai prestasi kak intan juga. Tak sabar rasanya aku ingin cepat-cepat tiba di rumah, akan ku beritahukan kabar gembira ini pada keluargaku, aku tak sabar ingin mendengar kesan mereka kepadaku. Tiba- tiba saja dari kejauhan terlihat kak Ian yang sedang berjalan menghampiriku, dan ia tepat berdiri di depanku.
“Tiara..” Kata kak Ian singkat.
“Iya..” Jawabku singkat pula.
“Kenapa sewaktu kakak Ulag Tahun, kamu malah pulang begitu saja ? Tiba-tiba saja menghilang dalam pesta malam itu.”
“Maaf kak, waktu itu Tiara sudah mengantuk.”
“Kamu akhir-akhir ini berbeda dengan Tiara yang dulu, ada apa Tiara ? Kenapa sekarang kamu mulai menghindar dariku ? Di Padepokan kamu juga tidak pernah muncul lagi. Kenapa ?” Tanya kak Ian.
“Maaf! Bukan urusan kakak.” Jawabku ketus.
“Tiara!!!” Bentak kak Ian.
“Tolong mulai sekarang kakak jauhi Tiara, Tiara ga mau ketemu lagi sama kakak, Tiara benci sama kakak. Anggap saja kita belum pernah bertemu sebelumnya! Terimakasih karena dulu kakak pernah mewarnai hidup Tiara yang kelam.” Kataku sembari berlari menjauh dari kak Ian.
“Aku sungguh ga ngerti sama kamu Ra.. Okey, kalau sikap kamu akan terus seperti ini, maka mungkin memang akan lebih baik jika kita lupakan saja semuanya! Yang jelas aku juga mulai membencimu..” Kak Ian berteriak kepadaku, dan aku sungguh tak mengira bahwa kak Ian akan sangat membenciku.
Setibanya di rumah, semua orang berkumpul dan tertawa ria melihat hasil belajar kak Intan dan kak Reza, namun ketika melihatku sedang berdiri tepat di depan pintu masuk suasana menjadi henng sejenak, mereka terdiam seakan-akan itu menandakan bahwa mereka tidak suka dengan keddatanganku.
“Gimana hasilnya Ra ? Pasti jelek ya ?” Tebak kak Reza.
“Engga ko’.. Tiara dapat juara satu sekarang. Yang pastinya Tiara udah menyamai prestasi kak Intan.” Kataku.
“Ah, juara satu di sekolahmu pasti juara terakhir di kelas Intan.” Ledek Mama padaku.
Aku kecewa, benar-benar kecewa karena semua prestasi yang kuraih tak penah dihargai sama sekali. Dengan kecewa aku berlari menuju kamarku, kuratapi semua ketidakadilan ini. Aku tidak keluar kamar selama dua hari pun tak ada yang peduli. Semua orang dirumah hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, kecuali Bi Imah yang hampir setiap jam membujukku untuk keluar. Maagku kambuh, rasanya teramat perih dari yang biasanya. Dihari ketiga aksi diamku dikamar, tiba-tiba rumahku terdengar sebuah suara yang sangat ku kenal. Ternyata hari ini, keluarga Om Robbert sudah tiba di Jakarta untuk berlibur bersama keluarga kami. “Kak Aga.. Tiara kangen sama kakak..” Ucapku dengan tertunduk lesu dikamar.

Aku keluar kamar untuk menemuinya, namun ternyata ia sudah berubah dan tak peduli lagi padaku. Semuanya benar-benar berubah, dan kini janjinya ia ingkari untuk menemuiku. Penantianku sia-sia, semua orang telah membenciku dan menjauhiku. Aku sendirian dirumah, Bi Imah pulang ke kampung karena anaknya sakit. Sedangkan yang lain sedang makan malam dihotel. Dan aku, tertinggal di rumah sendirian.. Keesokan harinya, Om Robbert berkunjung ke rumahku bersama kak Aga pujaan hatiku, dan di sana seperti biasanya aku menjadi obat nyamuk. Aku hanya makan dan terus memasukkan roti berselai kacang ke mulutku. Sedangkan yang lain asyik berbincang-bincang dengan topic kak Intan dan kak Aga. Yang aku tahu, mereka terus membanggakan dua orang yang berprestasi tersebut. Hingga Om Robbert juga turut berubah padaku, semua orang mengucilkanku disini. Sesudah sarapan pagiku habis, aku segera pamit menuju taman belakang yang ternyata disana ada kak Intan kak Aga sedang duduk berdua. Disana, aku sedang melihatnya memberikan setangkai mawar pada kak Intan. Ternyata mereka sudah jadian dan aku tahu, bahwa kak Aga telah melupakanku. Begitu pula dengan kak Intan yang juga telah melupakan kak Ian, kekasihnya. Dalam hati kecilku bertanya, apakah mereka telah putus ?         

            Akhirnya, hari yang telah lama ku nantikan tiba juga. Hari ini, pertandingan silat antar Provinsi di Indonesia akan berlangsung di Bandung. Namun sayang, semua orang yang kusayang tak ada yang mau hadir disini. Semuanya memilih hadir dilomba kak Intan Olimpiade Matematika. Walau sedikit kecewa, akan kubuktikan bahwa aku adalah Tiara yang hebat. Dalam hati, perasaan takut pun datang ketika ku lihat lawanku yang berbadan tinggi dan terkenal ganas berdiri tepat di depanku, aku sempat terjatuh dan nafasku terasa sesak ketika kakinya menentang tepat di dadaku. Namun, siapa sangka bila keinginanku untuk menjadi Sang Juara terwujud, aku menang dan meraih juara satu dipertandingan silat nasional di Bandung. “Kita panggil, juara nasional silat tahun ini. Tiara Ashilla Permata dari Jakarta.” Panggil pembawa acara. Dengan diiringi tepuk tangan meriah, ku naiki podium kebesaranku, dan kurasakan aku sangat dihargai disini.         

             Setibanya dirumah, kuletakkan foto keberhasilanku diruang tamu, namun disaat kedatangan kak Dara dan yang lainnya, kulihat kemurungan disana. Dan setelah melihat foto keberhasilanku, kak Intan malah menangis, sembari ia copot foto yang telah ku pajang lalu ia jatuhkan ke lantai hingga kacanya pecah berserakan, ia pun berlari menuju kamarnya.
“Kamu sengaja meledek Intan ?” Tanya Papa dengan sinis.
“Tidak Pa! Tiara tidak merasa meledek kak Intan, Tiara tidak melakukan apa-apa sama  kak Intan, Pa!” tanyaku tak mengerti.           
“Intan kalah sedangkan kamu menyombongkan diri dengan memajang fotomu diruang ini. kamu tahu kan bahwa diruang ini hanya foto-foto keberhasilan Intan yang boleh menempatinya.” Jawab Papa yang membuatku sangat kecewa. 
“Lepas Fotomu!” ucap Mama dengan agak ketus padaku!”
Kulepas foto yang sangat aku harapkan menjadi penghubung agar keluargaku menyanjungku. Sebuah harapan yang sejak dulu selalu ku inginkan. Karena aku selalu iri disetiap kak Dara dipuji dan disanjung oleh papa dan mama, serta semua tamu yang pernah berkunjung kerumahku. Sekarang pertanyaan terbesarku adalah..
“Apakah aku anak kandungmu Ma ? Pa ?” 
Pertanyaan yang tak pernah terjawab oleh lisan, namun terjawab oleh perbuatan mereka padaku. Seorang anak yang selalu tersingkirkan oleh ketidakadilan.
Hari demi hari terus berganti, dan semenjak itu pula kak Dara menjadi seseorang yang terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya yang tertekan karena ia kalah di Olimpiade. Yang ku tahu, kakakku ini terlihat lemah dari yang biasanya.
“Udahlah kak, ga ada gunanya ditangisin terus, kak.” Ucapku menyemangati.
“Kamu senang kan lihat aku seperti ini ? Kamu senang kan lihat aku kalah ? Biar kamu tuh dapat sanjungan dari Mama dan Papa, biar kamu disayang-sayang.” Jawabnya sembari menangis    .
“Tidak, kak, Tiara tidak pernah ada niat seperti itu.” Sahutku.
“Udahlah, pergi kamu dari kamarku, pergi…” Ucapnya terpotong karena akhirnya ia terjatuh tepat didepanku.     
“Pa, Ma, tolong kak Intan. Kak Intan jatuh Pa!” Teriakku.  
“Apa ? Kamu apakan Intan ? Dasar anak pembawa sial kamu!” Bentak Papa sembari mendorongku.
“Tiara tidak ngapa-ngapain kak Intan, Pa. kan Intan tiba-tiba saja jatuh pingsan, Pa..” Sahutku dengan menyembunyikan kesakitanku         .
“Pasti penyakitnya kambuh lagi Pa, ayo cepat kita bawa kerumah sakit.” Ucapku pada Papa.
“Diam kamu!” Bentak Mama .
Aku sangat khawatir dengan keadaan kak Intan, ingin rasanya aku jenguk ia ke Rumah Sakit, namun Papa sama Mama melarangku. Ini sudah empat hari lamanya kak Intan di Rumah Sakit, dan aku sudah tidak tahan lagi, aku tidak bisa terus berdiam diri di rumah, diam-diam aku pergi ke Rumah Sakit dan bertanya kepada seorang Dokter yang baru saja keluar dari kamar kak Intan.
“Maaf, Dok.. Boleh saya bertanya ?” Tanyaku dengan sopan.
“Iya.. Ada apa,  dik ?”
“Pasien yang dirawat di kamar tadi menderita penyakit apa, Dok ?”
“Pasien itu menderita penyakit gagal ginjal., kini ia membutuhkan donor ginjal karena ginjalnya yang hanya tinggal satu sudah rusak parah, dan apabila tidak segera dioperasi, maka akan membahayakan nyawanya.” Jawab Dokter.
“Satu ginjal, Dok ?” Tanyaku dengan mata yang berkaca-kaca.
“Iya, ini sudah untuk kedua kalinya anak itu melakukan operasi, kejadian serupa sepuluh tahun yang lalu anak itu juga pernah melakukan operasi gagal ginjal.”
“Berarti, sekarang kak Intan sudah tidak memiliki ginjal lagi, dan itu akan membahayakan nyawanya, begitu juga aku akan kehilangan kakak tercintaku untuk selamanya. Itu pun bila kak Intan melakukan kemotherapy (cuci darah) setiap bulannya tidak akan menutup kemungkinan kak Intan akan hidup lebih lama lagi, cepat atau lambat kak Intan pasti akan meninggal.” Pikirku panjang.
“Maaf, dik. Saya harus kembali ke ruangan saya, masih banyak pasien lagi yang saya tangani.” Kata Pak Dokter sembari berlalu.
Aku pun berjalan dengan langkah yang berat, tak kuasa ku tahan air mataku dan berpikir keras untuk mendapatkan donor ginjal yang tepat untuk kak Intan. Dalam hati ku berpikir untuk mendonrkan ginjalku kepada kak Intan. Namun, aku rasa itu tidak mungkin, aku juga memiliki satu ginjal, karena semasih aku berusia lima tahun juga pernah jatuh dari ayunan, dan luka parah di bagian perut. Ginjalku terhimpit, sehingga harus dioperasi tanpa sepengetahuan Papa dan Mama, dan itu hanya Om Robbert dan kak Aga yang mengetahinya, Om Robbert yang membayar biaya operasi waktu itu. Bila ku donorkan ginjalku, maka aku yang harus pergi, tapi apabila tidak ku donorkan maka aku akan kehilangan kak Intan untuk selama-lamanya. Di suatu malam ku pikirkan kembali niatku itu untuk mendonorkan satu-satunya gijal yang ku punya untuk ka Intan. Aku berpikir bila aku yang harus pergi, aku akan terbebas dari rasa sakit hati karena ketidakadilan, dan aku juga akan sangat bahagia di alam sana melihat keluarga tercinta bahagia tanpa diriku dari alam surga.
Pada suatu pagi, aku pun kembali menemui Dokter itu did ala ruangan dan berbicara empat mata secara pribadi. Aku menceritakan bahwa aku akan mendonorkan ginjal satu-satunya yang aku kepada kak Intan, aku juga mengatakan bahwa aku sangat bahagia bisa mendodorkan darahku kepada seorang kakak yang sangat aku cintai. Dokter itu sempat menolak untuk mencangkok ginjalku, karena ia beranggapan bahwa itu sama saja artinya bahwa ia akan melakukan tidak kriminal pembunuhan dan ia juga berbohong mengatakan ginjalku tak cocok untuk kak Intan. Aku tetap memaksa, dan terus membujuk hingga akhirnya ia akhirnya bersedia mencangkok ginjalku.
Beberapa jam sebelum perasi pencangkokan dilakukan, aku menulis sepucuk surat untuk semua orang yang aku sayangi. Entahlah, aku merasa sangat bahagia ketika ku tahu bahwa aku akan pergi meninggalkan keluarga tercintaku untuk selamanya. Aku merasa telah lelah menjalani hidupku, setelah ku selesai menulis surat itu aku menitipkannya kepada Bi Imah yang sedang berada di sampingku, ia tampak terlihat sedih, air matanya bercucuran melihatku yang kini terbaring di sebuah tempat tidur yang terang dan banyak terlihat benda-benda tajam untuk operasi. Ruang operasi ini terasa begitu menakutkan, semua benda yang ku lihat hanyalah jarum suntik dan gunting. Aku dibawa lebih dulu ke ruang operasi agar tidak ada yang tahu siapa sebenarnya orang yang telah mendonrkan ginjalnya kepada kak Intan secara gratis. Posisiku dan kak Intan dipisahkan oleh dinding pembatas, hingga akhirnya aku dibius dan ku lihat hanya gelap.        
Beberapa jam kemudian, aku tak tahu apa yang telah terjadi di luar sana, kata Dokter kak Intan telah sadar dan keluargaku menanyakan siapa pendonorginjal itu. Dokter menepati janjinya dan hanya mengatakan bahwa pendonor itu mengatakan bahwa identitas pendonor itu telah dirahasiakan      
“Dok, siapa yang mendonorkan ginjalnya untuk anak saya ?” Tanya Papa kepada Dokter.
“Maaf Pak, pendonor yang berhati mulia itu meminta agar identitasnya dirahasiakan.”
Di dalam kamar yang ditempati kak Intan tampak ramai, sempat pula terjadi konflik ketika kak Ian dan kak Aga dua orang kekasih kak Intan datang bersamaan menjenguk ke Rumah Sakit. Hampir terjadi perkelahian ketika kak Ian tahu bahwa dirinya telah dihianati oleh kekasihnya, namun kejadian itu tak terjadi karena Bi Imah datang sembari membawa sepucuk surat dan air matanya masih tetap mengalih membasahi pipinya. Isi surat itu adalah..
Untuk semua orang yang sangat Tiara sayang.. mungkin saat kalian baca surat ini Tiara tidak ada lagi disini.. Tiara udah pergi ke tempat yang sangat jauh di surga..
Oh iya, gimana kabar kak Intan ? Kak Intan udah siuman, kan ? Semoga ginjalku dapat membantu intuk meraih semua iimpian dan cita-cita kakak yang belum terwujud…
Andai saja kakak tahu, sesungguhnya Tiara ga ada sedikitpun niat untuk merenggut kasih sayang Papa sama Mama dari kak Intan, hanya saja  terkadang Tiara merasa iri melihat kakak yang selalu di sayang sama Mama dan Papa, Tiara pengen banget diperlakukan sama sepeti kakak oleh Mama dan Papa..
Teruntuk Papa sama Mama, sekarang ga ada lagi Tiara yang ga sopan di rumah karena si pembuat onar udah pergi untuk selamanya dan tak akan pernah kembali lagi.. Hidup kalian udah tenang, kan ? Tiara selalu ingin dicium Mama saat akan tertidur, kangen banget sama pelukan Mama, kangen sama pehatian Mama yang selalu memotivasi kak Intan, apalagi pada saat itu Tiara di pihak kak Intan, Tiara ga akan pernah bisa melupakannya..
Untuk kak Reza, kakak ga akan terganggu lalgi belajarnya, ga ada lagu yang nyetel musik keras-keras.. Semuanya tenang dan tentram di rumah.. Kalian ga akan pernah tahu bagaimana sebenarnya Tiara menyayangi kalian semua, Tara setiap malam selalu menangis di dalam kamar, kalian beda-bedakan Tiara dengan kak Intan.. Tiara merasa telah tak dianggap lagi.. Oh Tuhan, Tiara harap Tuhan selalu menyertai setiap langkah kalian.. Amin..
                                                                                                                                Tiara Ashilla Permata
Semua yang mendengar isi surat itu pun menangis dan tak kuasa menahan air mata, mereka bertanya-tanya kepada Bi Imah dimana Tiara, namun Bi Imah hanya terdiam sembari mengusap-usap air matanya yang menetes. Ian pun dengan segera berlari meninggalkan ruangan, dan berlari mencari Dokter yang menangani operasi pencangkokan ginjal Intan dan Tiara. Sesaat kemudian, mereka pun akhirnya bertemu di sebuah ruangan yang gelap.
“Dokter, dimana Tiara ?” Tanya Ian sembari melangkah dengan langkah pelan mendekat, namun Dokter itu hanya terdiam.
“Aku Tanya dimana Tiara ? Dimana dia ??” Teriaknya dengan lantang.
“Maafkan saya, saya tidak bisa berkata apa-apa. Tiara anak berhati mulia yang kamu cari tak terselamatkan oleh kami. Tuhan telah memanggilnya..”
“Aku mau dia tetap hidup, bagaimanapun caranya, Dok! Tolong bantu saya..”
“Maaf, Nak..” Jawab Pak Dokter singkat.
“Dokter, tolong bantu saya.. Saya mohon!” Ian pun jatuh terpaku tak berdaya.
“Terkecuali kamu bisa mendapatkan donor ginjal sekarang juga, mungkin dia bisa terselamatkan.” Kata Pak Dokter.
“Baiklah, jika itu yang bisa membuat Tiara hidup kembali, maka hari ini juga akan aku dapatkan donor ginjal untuk Tiara.” Kata Ian meyakinkan.
“Itu mustahil, Nak.. Relakanlah kepergiannya..” Kata Pak Dokter berucap sedih.
“Anda ini Dokter semacam apa ? Tidak.. tidak ada yang mustahil.. Hari ini juga akan buktikan bahwa kata-katamu itu yang mustahil.. Tiara akan kembali, dia belum mati. Dia akan hidup bersamaku, aku akan menemaninya sampai akhir hayatku!!” Ian tampak sangat marah, sembari ia teteskan air mata.
“Buktikanlah..” Sambung Pak Dokter.
“Ambil ginjalku.. aku punya dua buah ginjal!” Kata Ian mengejutkan kedua orang tuanya yang baru saja sampai ruangan itu.
“Tidak.. saya tidak akan melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya..” Jawab Dokter menolak.
“Dokter..  Tolong Dok! Jika resikonya adalah kematian, maka kami akan mati bersama!´Kata Ian menegaskan.
Berkali-kali Dokter menolak permintaan konyol Ian, berkali-kali pula Ian memaksa. Hingga akhirnya Pak Dokter yang mengalah, ia bersedia mencangkok ginjal Ian, namun sebelum operasi pencangkokan ginjal terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap kesehatan pendonor. Keluarga Ian dan keluarga Tiara pun hanya bisa mendoakan semoga operasi berjalan dengan lancar. Dua jam lamanya operasi dilakukan, hingga pada akhirnya Pak Dokter keluar dari ruang operasi.
“Dok, bagaimana keadaan putra saya, Dok ?” Tanya Tante Della sangat khawatir.
“Ibu dan Bapak tidak usah cemas, putra kalian baik-baik saja.” Jawab Pak Dokter sembari tersenyum manis.
“Lalu.. bagaimana dengan putrid saya, Dok ?” Tanya Tuan Herlambang ayah Tiara yang juga terlihat cemas.
“Putri Bapak.. kami belum bisa memastikannya, ia kekurangan banyak darah. Namun, Bapak tidak perlu cemas karena kami juga sudah mendapatkan donor darah untuknya.”
“Siapa yang mendonorkan darah sebanyak itu Dok ?” Tanya Tuan Herlambang.
“Dia mengaku bahwa dirinya adalah ibu kandung dari Tiara. Saya kira Bapak sudah mengetahuinya sebelum operasi dilakukan.” Jawab Pak Dokter.
“Ibu kandungnya ? Apakah dia Ashilla ? Dia masih hidup ?” Pikir Tuan Herlambang.
“Dimana sekarang dia, Dok ? Saya ingin bertemu dengannya.”
“Dia ada di ruang operasi sedang menemani anak Bapak.”
Pak Herlambang pun bergegas menemui pendonor darah yang mengaku ibu kandungnya itu di ruang operasi. Terlihat seorang wanita yang duduk menemani Tiara, ia tampak sedih melihat Tiara yang sedang terbaring lemah. Ketika wanita itu melihat Pak Herlambang sedang berjalan mendekat ke arahnya, tiba-tiba saja wanita itu mendekat dan memukul Pak Herlambang. Serentak ia berteriak lantang.
“Ayah semacam apa kamu, Mas ? Kamu sia-siakan putri kandungmu sendiri. Kami memang berasal dari keluarga yang terpandang hina, tapi kami masih punya harga diri. Aku titipkan darah dagingmu sendiri kepadamu, dengan harapan ia mendapat kehidupan yang layak. Tapi apa ? Kamu memperlakukan dia bukan seperti putri kandungmu.” Ucap wanita itu dengan penuh emosi sembari menangis.
“Maafkan aku, aku seorang Ayah yang jahat.” Ucap Tuan Herlambang.
“Kata-kata maaf kamu tidak akan pernah bisa menyembuhkan luka yang kamu goreskan, Mas. Jika sampai putriku mati, maka aku juga akan membunuhmu, Mas!”
“Kamu bicara apa ? Aku tidak akan membiarkan suamiku dibunuh oleh seorang perempuan hina seperti kamu! Sebelum kamu membunuh suamiku, maka kamu yang akan mati duluan.” Sahut Nyonya Kharisma seorang ibu dari Tiara yang ternyata adalah Ibu tiri dari Tiara.
Bu Ashilla ibu kandung Tiara pun marah dan mencakar wajah Bu Kharisma hingga berdarah, Pak Dokter yang menyaksikan pun segera memanggil Security dan melerai perkelahian mereka. Pak Herlambang dengan segera menarik Bu Kharisma keluar, dan pulang ke rumahnya bersama dengan Intan yang baru saja siuman serta Reza. Sesampainya di rumah, Bu Kharisma bercermin dan melihat wajahnya yang membengkak akibat cakaran dari Bu Ashilla.
“Pa.. siapa wanita tadi, Pa ? Kenapa dia ngaku-ngaku jadi Ibu kandung dari Tiara ? Terus kenapa juga Papa tampak sedih melihat Tiara, juga mengatakan bahwa Papa adalah seorang Ayah yang jahat ? Bukankah Tiara adalah anak yang kita pungut dari tong sampah ? Apakah mungkin Papa dan Tiara ada hubungannya dengan wanita itu ?” Tanya Nyonya Kharisma penasaran.
“Kharisma.. akan mengungkap sebuah rahasia yang telah lama aku simpan secara pribadi. Wanita itu namanya Ashilla, dia adalah seorang perempuan yang sangat aku cintai sebelum aku menenalmu. Namun, cinta kami tidak dapat dipersatukan, karena keluargaku tidak setuju jika aku menikah dengan perempuan yang bukan berasal dari keluarga terhormat. Akhirnya kami berpisah selama dua tahun, dan aku menikah denganmu karena perjodohan. Tak terasa telah lama menikah denganmu aku dikaruniai dua orang anak, yaitu Reza dan Intan. Tapi tahukah kamu ? Aku juga mempunyai seorang putri yang terlahir dari rahim seorang perempuan yang dulu ku cintai. Cinta kami bersemi kembali di sebuah pondok kecil dekat hutan.”
“Maksud Mas apa ? Mas menghianati saya ?”
“Aku mencintainya, bukan maksudku untuk menghianatimu. Rasanya tak mungkin bila aku menikahi Ashilla yang tengah mengandung anakku, terpaksa aku tinggalkan dia dan kembali padamu. Pada suatu malam untuk terakhir kalinya aku melihatnya, dia melahirkan bayi perempuan yang kemudian aku beri nama Tiara Ashilla Permata. Yang aku ketahui, Ashilla telah meninggal dunia, namun ternyata itu hanyalah rekayasa. Ashilla masih hidup.”
“Lalu, kenapa kamu mengatakan padaku bahwa dia anak yang kamu pungut dari tong sampah ? Kenapa juga kamu memperlakukannya bukan seperti putri kandungmu, Mas ?”
“Karena pada waktu itu aku takut berkata jujur padamu, Kharisma. Dan setiap aku melihat wajah Tiara, aku teringat akan Ashilla. Dalam hatiku penuh dengan kebencian, kelahiran Tiara aku anggap sebagai penyebab kematian Ashilla. Aku membencinya..” Pak Herlambang pun meneteskan air matanya karena tak bisa lagi menahan kesedihan yang telah lama ia sembunyikan.
“Oh Tuhan.. aku pun juga berdosa, Mas. Selama ini aku telah membenci anak itu. Aku harus minta maaf padanya, Mas..” Nyonya Kharisma pun merasa sangat menyesal.
“Itulah sebabnya aku member nama kedua Intan dengan menambahkan Ashilla, aku berharap bahwa Intan akan menjadi putriku yang memiliki kemiripan dengan Ashilla.”
Dua hari kemudian, Tuan Herlambang dan Nyonya Kharisma kembali ke Rumah Sakit untuk menjenguk Tiara yang telah siuman dan sebentar lagi akan pulang bersama dengan Ibu kandungnya yang sesungguhnya.
“Tiara.. sekarang kita pulang. Bunda tidak punya cukup uang untuk membayar tagihan Rumah Sakit bila kamu dirawat lebih lama lagi.” Kata Bunda kepadaku.
“Iya, Bunda. Tapi, biaya operasi kan belum dibayar.. Kita juga tidak bisa pulang, kan ?” Tanyaku.
“Semua sudah dibayar oleh keluarga Om Anwar, tapi Bunda tidak akan memintanya secara cuma-cuma, Bunda pasti akan mengembalikan uang mereka suatu saat nanti, yang tidak Bunda ketahui kapan Bunda bisa membayarnya.” Kata Bunda meyakinkan kepadaku.
 “Semua biaya Rumah Sakit sudah Om sama Tante yang bayar. Mbak Ashilla tidak perlu mengembalikannya, kami iklas.” Sambung Tante Della, dan Om Anwar ikut tersenyum.
“Kamu ga usah kembaliin segala kali, Ra. Aku juga iklas, walaupun sebenarnya bersyarat juga. Tapi, karena takut dibilang nanti ga iklas ya ga dibilang.” Kata kak Ian meledekku.
“Apa ?”
“Ah.. nanti aja kalau waktunya udah tepat, ini mah terlalu cepat. Aku juga belum menyelesaikan masalah sama Intan kakak kamu yang penghianat itu.”
Sesaat kemudian Papa sama Mama tiri aku datang di saat kami akan meninggalkan ruangan, Papa mendekatiku dan ia memelukku dengan dekapan kasih sayang, begitu pula dengan Mama.
“Tiara.. maafkan Papa sama Mama yang selama ini sudah memperlakukan kamu secara tidak adil.” Kata Mama sembari meneteskan air matanya.
“Tiara belum sembuh total.. dia harus dirawat secara itensif di Rumah Sakit untuk beberapa hari lagi.” Kata Papa kepada Bunda.
“Sejak kapan Mas peduli dengan kesehatan Tiara ? Biaya Rumah Sakit saja belum Mas bayar, malah keluarga dari Pak Anwar dan Bu Dela yang bukan siapa-siapa Tiara yang membayar semua tagihan Rumah Sakit. Mau dirawat beberpa hari lagi di Rumah Sakit mau pakai apa ? Suruh Pak Anwar lagi yang bayar ? Kamu ga punya otak, Mas.”
“Aku yang akan membayarnya, akan ku kembalikan semua uang yang ia keluarkan untuk membayar tagihan Rumah Sakit.”
“Maaf, Mas. Sekarang Tiara akan pulang sama aku.”
“Kamu mau bawa Tiara kemana ?”
“Ke rumahku di kampung, Mas.”
“Kamu mau beri dia makan apa disana ? Tiara akan tinggal denganku, karena aku bisa memberikan dia kehidupan yang layak. Sedangkan bila ikut kamu, apakah dia bisa bersekolah ? Aku rasa dia akan putus sekolah dan akhirnya akan menjadi pembantu rumah tangga kemudian menikah. Masa depan dia akan menjadi kelabu.”
“Aku bisa memberinya makan, walaupun itu hanya ubi keladi san sayur daun singkong, yang jelas dia tidak makan hati karena ketidakadilan. Aku akan berusaha menyekolahkan dia setinggi-tingginya meskipun tidak di tempat favorit. Masa depannya akan cerah bersamaku suatu saat nanti.”
”Sudah diam! Tiara lebih baik mati saja jika Papa sama Bunda bertengkar seperti ini terus. Tiara tidak mau ikut siapa-siapa, kalian puas ??”
Kesabaranku pun telah habis, aku sangat sedih meliahat kedua Papa dan Bunda bertengkar. Sesungguhnya aku berharap Papa sama Bunda dapat bersatu kembali. Tapi, aku rasa itu tidak mungkin karena Mama juga istri dari Papa. Aku memutuskan untuk pergi dari mereka, dan berjalan menyusuri pantai hingga mereka kehilangan jejakku. Namun, tidak berlaku bagi kak Ian, ia diam-diam membuntutiku dan menyergapku. Sembari duduk-duduk di sebuah batu pinggir pantai kami berdua berbincang-bincang saling bertukar cerita dari hati ke hati.
“Kenapa kamu lari, Ra ?”
“Tiara malu kak.. Tiara sedih melihat mereka terus-terusan bertengkar seolah-olah seperti kucing dan tikus. Lebih baik Tiara ga tahu kebenaran ini kak. Lebih baik Tiara mati saja, Tiara benci banget sama pendonor ginjal itu. Coba saja dia





2 komentar:

  1. Best Coin Casino Sites 2021 | CasinoWebsites
    Looking for Coin Casino Sites 코인카지노 가입코드 in 2021? ➤ ⭐ ⭐⭐ ⭐ ⭐ ⭐ ⭐ Play at top casino sites. ➤ ✓ List of all CoinCasino.com™

    BalasHapus
  2. Casino at Foxwoods Resort - Mapyro
    Casino 남원 출장안마 at Foxwoods Resort features a casino with 50 table 부천 출장안마 games. Slots, 안산 출장안마 table 청주 출장마사지 games, live entertainment and more - all within a 15-minute drive of Foxwoods 계룡 출장샵

    BalasHapus